Dasa Aksara
Dalam Bhuana Agung dan Alit
Kadek Rusmini
Abstrak
Mengenai
simbol lain dalam bentuk huruf atau aksara, di Bali dikenal ada tiga macam
aksara, yaitu: (a) Pertama aksara wrestra, yang terdiri dari atas suku kata:ha, na, ca, ra, ka, ga, ta, ma, nga, ba, sa,
wa, la, pa, da, ja, ya, nya. Letak dalam bhuana alit yaitu: (1) Ha di
ubun-ubun, (2) Na di antara kedua alis, (3) Ca di dalam kedua mata, (4) Ra di
kedua telinga, (5) Ka di dalam hidung, (6) Da di dalam mulut, (7) Ta di dalam
dada, Sa di tangan (lengan) kanan, (9) Wa di tangan (lengan) kiri, (10) La di
hidung, (11) Ma di dalam dada kanan, (12) Ga di dalam dada kiri, (13) Ba di
pusar, (14) Nga di dalam alat kelamin, (15) Pa di dalam pantat (anus), (16) Ja
di kedua tungkai (kaki), (17) Ya di tulang belakang, (18)Nya di tulang ekor. (b)
Kedua aksara swalalita. (c) Ketiga aksara modre.
Menurut
lontar atau buku Usada Tiwas Punggung (Punggung Tiwas), dasa aksara terdiri
atas 10 aksara suci atau wijaksara,
yaitu: Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, dan Yang. Masing-masing
dari aksara ini mempunyai linggih, genah,
sthana (tempat, kedudukan) baik di dalam badan manusia (bhuana alit, mikrokosmos), maupun di
alam raya (bhuana agung, makrokosmos).
Di tempat linggih, kedudukan letak
atau sthana dari tiap aksara ini
bersemayam pula di tempat itu para Dewa, Sang Hyang atau Batara, lengkap dengan
lambang warna, senjata dan simbol perwujudannya. Agar lebih memudahkan untuk
mempelajari kaitan antara linggih (sthana) dewa, beserta perlambangannya
dengan Dasa Aksara dalam bhuana agung dan alit: (1) Sang di jantung (timur),
(2) Bang di hati (selatan), (3) Tang di buah pinggang (barat), (4) Ang di
empedu (utara), (5) Ing di pertengahan hati (tengah), (6) Nang di paru
(tenggara), (7) Mang di usus (barat daya), (8) Sing di limpa (barat laut), (9)
Wang di anus (timur laut), dan (10) Yang di susunan rangkaian hati (tengah).
Kesepuluh
huruf atau yang disebut dengan Dasa Aksara (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang,
Mang, Sing, Wang, Yang) dipandang sakti. Bersemayam dalam tubuh manusia yang
memberikan energy atau kekuatan dengan membangkitkannya. Dari Dasa Aksara
diperas menjadi Panca Aksara (Mang, Ang, Ong, Ung, Yang). Diciutkan lagi
menjadi Catur Aksara (Ang, Ung, Mang, Ong). Tri Aksara Ang, Ung dan Mang
disingkat AUM atau OM dan dibaca ONG merupakan simbul Dewa Brahma, Dewa Wisnu
dan Dewa Saiwa (Trimurti atau Tri Sakti) yang kesaktiannya diakui baik oleh
aliran Siwa maupun Buddha. Aksara OM merupakan simbul dari Utpeti, Sthiti dan
Pralina yaitu lahir, hidup dan mati
I.
Pendahuluan
Bahasa merupakan bagian
komunikasi antar perorangan maupun masyarakat. Bahasa dapat dibedakan
berdasarkan daerah setempat misalnya bahasa daerah Bali, Jawa, Sumatra dan
lain-lain. Tidak hanya sekedar bahasa saja, penulisan huruf juga berbeda-beda. Mengenai
simbol lain dalam bentuk huruf atau aksara, di Bali dikenal ada tiga macam
aksara, yaitu: (a) Pertama aksara wrestra. Aksara ini digunakan dalam bahasa
Bali lumrah berdasarkan hanacaraka yang berjumlah 18 aksara. (b) Kedua aksara
swalalita. Aksara ini digunakan dalam sastra Jawa Kuno, berjumlah 35 aksara,
hampir sama dengan aksara dalam bahasa Sansekerta. (c) Ketiga aksara modre.
Aksara ini digunakan untuk kadyatmikan seperti untuk japa, mantra, lambang-lambang
keagamaan, upacara yang berhubungan dengan dunia kegaiban dan pengobatan
(usada). Aksara modre inilah yang dimaksud dengan Aksara Suci dalam Agama Hindu
(Suhardana, 2006:90)
Aksara
atau huruf yang yang ada di Bali diperkirakan merupakan modifikasi dari huruf
Jawa. Dan huruf Jawa ini mungkin berasal dari huruf Sansekerta, India. Diduga
bahwa huruf atau aksara ini dibawa oleh Raja
Aji Sakti yang datang ke Jawa pada tahun 78 atau 79 Masehi. Sebab pada
waktu itu mulai diterapkan Tahun Caka yang berbeda sekitar 79 tahun dengan
tahun Masehi. Huruf yang diperkenalkan pada waktu itu sebenarnya bukanlah huruf
tetapi suku kata, yang terdiri dari atas suku kata:ha, na, ca, ra, ka, ga, ta, ma, nga, ba, sa, wa, la, pa, da, ja, ya,
nya. Kedelapan belas aksara ini dapat dirangkaikan menjadi suatu kalimat,
untuk memudahkan menghapalkannya, yakni: hana
caraka gata mangaba sawula pada jayanya. Artinya: ada (dua orang) hamba berpengalaman membawa surat, sama perwiranya.
Tetapi ada pula yang menulis aksara ini sebagai berikut: Hana caraka dhata sawala pada jayanya magabathanga. Artinya: Ada (dua) prajurit berkelahi, sama saktinya
(akhirnya) keduanya menjadi mayat.
Kedudukan kedelapan belas aksara
Bali tersebut di dalam tubuh manusia atau bhuana alit adalah sebagai berikut: (1)
Ha di ubun-ubun, (2) Na di antara kedua alis, (3) Ca di dalam kedua mata, (4) Ra
di kedua telinga, (5) Ka di dalam hidung, (6) Da di dalam mulut, (7) Ta di
dalam dada, Sa di tangan (lengan) kanan, (9) Wa di tangan (lengan) kiri, (10) La
di hidung, (11) Ma di dalam dada kanan, (12) Ga di dalam dada kiri, (13) Ba di
pusar, (14) Nga di dalam alat kelamin, (15) Pa di dalam pantat (anus), (16) Ja
di kedua tungkai (kaki), (17) Ya di tulang belakang, (18)Nya di tulang ekor.
Kelengkapan
atau pangangge aksara mempunyai kedudukan atau tempat pula di dalam tubuh
manusia, yakni: (1) Ulu di kepala (dalam otak), (2) Taling di hidung, (3) Surang
di rambut, (4) Nania di lengan (tangan), (5) Wisah di telinga, (6) Pepet di
batok kepala, (7) Cecek di lidah, (8) Guwung di kulit, (9) Suku di tungkai
(kaki), (10) Carik di persendian, (11) Pamada di alur jantung.
Kedelapan
belas aksara ini merupakanwre-astra,
yakni aksara yang tampak dan dapat diajarkan kepada siapa saja. Sedangkan
aksara yang tidak tampak yang terdiri atas dua buah aksara disebut swalalita
yaitu Ah dan Ang merupakan aksara yang tidak boleh diajarkan kepada sembarang
orang. Kedua aksara swalalita ini dilengkapi dengan pangangge sastra, yaitu
kelengkapan aksara berupa ardha-candra berbentuk bulan sabit, windu yang
melambangkan matahari berbentuk bulatan, dan nada melambangkan bintang yang
dilukis sebagai segitiga.Ketiga pangangge sastra ini sering dipasangkan dengan
aksara huruf hidup: a, i, u, e, o sehingga dibaca menjadi: ang, eng, ing, ong,
dan ung. Suku kata ini disebut: ang-kara, eng-kara, ing-kara, ong-kara, dan
ung-kara. Bentuk seperti ini disebut modre.Kelengkapan ketiga aksara swalalita
ini sering dihubungkan dengan kekuatan dan simbol dari dewa, sehingga bentuk
windu adalah lambang agni, Dewa Brahma, sama dengan aksara Ang. Bentuk
ardha-candra adalah lambang air, Dewa Wisnu sama dengan aksara Ung. Dan bentuk
nada adalah lambang udara, Dewa Siwa sama dengan aksara Mang. Ketiga aksara ini
jika disatukan akan menjadi Ang-Ung-Mang atau A-U-M yang dibaca Aum atau Om. Di
Bali diucapkan Ong. Aksara Ong-kara inilah sumber dari semua aksara, sehingga
disebut wija-aksara, aksara yang maha suci, lambang Dewa Trimurti
(Nala,1993:96-97)
II. Pembahasan
2.1
Pengertian
Dasa Aksara
Menurut
lontar atau buku Usada Tiwas Punggung (Punggung Tiwas), dasa aksara terdiri
atas 10 aksara suci atau wijaksara,
yaitu: Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, dan Yang. Kesepuluh
aksara ini berasal dari delapan buah aksara wianjana
(sa, ba, ta, na, ma, si, wa dan ya) dan dua buah aksara suara (a dan i). Kalau
kesepuluh aksara ini dirangkai dalam kata-kata akan terbentuk sebuah kalimat,
yang bunyinya sebagai berikut: sabatai
nama siwaya. Kalimat ini merupakan ungkapan doa untuk memuliakan Dewa Siwa
(nama Siwaya). Di antara para dewa,
Sang Hyang Siwa paling dimuliakan oleh umat Hindu di Bali, karena kebanyakan
dari mereka menganut ajaran Siwa Siddhanta. Dewa-dewa yang lain tetap
dihormati, tetapi tidaklah semulia dewa Sang Hyang Siwa, karena dewa tersebut
merupakan perwujudan Dewa Siwa juga ketika sedang melaksanakan fungsi atau
tugasNya.
Bagi mereka
yang ingin mempelajari Dasa Aksara ini untuk memahami inti ajarannya dengan
benar dan mampu meresapkan ke dalam sanubarinya harus melalui suatu upacara
yang disebut Pawintenan Sastra Mautama (maha Utama), suatu upacara untuk
penyucian diri, baik sthula sarira
(jasmani) maupun suksma sarira
(rohani). Bila hal ini tidak dilaksanakan maka kemungkinan akan mendapat
halangan dalam proses pembelajarannya, sehingga tidak tercapai apa yang dituju.
2.2 Hubungan Dasa Aksana dengan Bhuana Agung dan
Bhuana Alit
Masing-masing
dari aksara ini mempunyai linggih, genah,
sthana (tempat, kedudukan) baik di dalam badan manusia (bhuana alit, mikrokosmos), maupun di
alam raya (bhuana agung, makrokosmos).
Di tempat linggih, kedudukan letak
atau sthana dari tiap aksara ini
bersemayam pula di tempat itu para Dewa, Sang Hyang atau Batara, lengkap dengan
lambang warna, senjata dan simbol perwujudannya.Agar lebih memudahkan untuk
mempelajari kaitan antara linggih (sthana), dewa, beserta perlambangannya
dengan Dasa Aksara akan dibuatkan tabel atau matriks (modifikasi dari isi
lontar Krakah Modre) sebagai berikut:
No
|
Bunyi
|
Linggih di buana alit
|
Linggih di buana agung
|
Dewa
|
Warna
|
1
|
Sang
|
Papusuhan Jantung (hrdaya)
|
Timur (Purwa)
|
Sang Hyang Iswara
|
Putih
|
2
|
Bang
|
Ati Hati (yakrta)
|
Selatan (daksina)
|
Sang Hyang Brahma
|
Merah
|
3
|
Tang
|
Ungsilan Buah pinggang (verkka)
|
Barat (pascima)
|
Sang Hyang Maha Dewa
|
Kuning
|
4
|
Ang
|
Ampru Empedu (tikta)
|
Utara (uttara)
|
Sang Hyang Wisnu
|
Hitam
|
5
|
Ing
|
Tengahing Ati Pertengahan Hati (yakrt)
|
Tengah (madya)
|
Sang Hyang Siwa
|
Nila
|
6
|
Nang
|
Peparu Paru (puphusa)
|
Tenggara (agneya)
|
Sang Hyang Maheswara
|
Dadu
|
7
|
Mang
|
Usus (srota)
|
Barat Daya (neriti)
|
Sang Hyang Rudra
|
Jingga
|
8
|
Sing
|
Limpa (pliha)
|
Barat Laut (wayabya)
|
Sang Hyang Sangkara
|
Hijau
|
9
|
Wang
|
Ineban Kerongkongan (mahasrota)
|
Timur Laut (ersania)
|
Sang Hyang Sambu
|
Biru
|
10
|
Yang
|
Susunan rangkaian hati (yakrthrdaya)
|
Tengah (madya)
|
Sang Hyang Guru
|
Panca Warna
|
Dasa akasara terbagi menjadi dua buah kelompok yang
disebut Panca Brahma (Sang-Bang-Tang-Ang-Ing) dan Panca Tirta
(Nang-Mang-Sing-Wang Yang). Panca Brahman selain malinggih di dalam tubuh
manusia (Sang Ibu) juga malinggih di dalam unsur kanda pat dari manik rare
(bhruna, janin), sehingga unsur ini memiliki juga kekuatan seperti para Dewa
tersebut. Para dewa dan unsur kanda pat ini adalah: (1) Sang, sadyojata,
pertiwi atau tanah (Dewa Iswara) berada di ari-ari (plasenta), (2) Bang,
Bawadewa, teja, agni, panas atau api, dewa brahma, berada di rah (darah, rakta),
(3) Tang, Tat Purusha, vayu, bayu, atau undara, Dewa Mahadewa, berada di lamas
(lamad, selaput tipis pembungkus badan janin), (4) Ang, Aghora, dewa wisnu,
apah, atau air berada di yeh nyom (air ketuban), (5) Ing, icana, dewa siwa,
akasa, embang atau ruang, berada di dengen (gelar kanda pat).
Wijaksara dari Panca Tirta malinggih, bersthana,
berkedudukan, bermukim, atau terletak pula di dalam tubuh manusia (bhuana
agung) dan jagat raya (bhuana agung) serta ada pula kaitannya dengan para dewa
atau batara. Kedudukan para dewa Panca Tirta berada disudut-sudut arah penjuru
mata angin. Matriks atau table berikut ini akan memperjelas hubungan tersebut:
No
|
Bunyi
|
Linggih
Bhuana Alit
|
Linggih
Bhuana Agung
|
Dewa
atau Batara
|
1
|
Nang
|
Paparu
Paru
|
Agneya
Tenggara
|
Sang
Hyang Mahesora
|
2
|
Mang
|
Usus
Usus
|
Neriti
Barat Daya
|
Sang
Hyang Rudra
|
3
|
Sing
|
Limpa
Limpa
|
Wayabya
Barat
Laut
|
Sang
Hyang Sangkara
|
4
|
Wang
|
Ineban
Sekat
Rongga
Dada
|
Airsania
Timur
Laut
|
Sang
Hyang Sambhu
|
5
|
Yang
|
Tumpuking
ati
Pusat
hati
|
Madya
Tengah
|
Sang
Hyang Iswara/Siwa
|
2.3
Kegunaan
Dasa Aksara
Kesepuluh
huruf atau yang disebut dengan Dasa Aksara (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang,
Mang, Sing, Wang, Yang) dipandang sakti. Bersemayam dalam tubuh manusia yang
memberikan energy atau kekuatan dengan membangkitkannya. Dari Dasa Aksara
diperas menjadi Panca Aksara (Mang, Ang, Ong, Ung, Yang). Diciutkan lagi
menjadi Catur Aksara (Ang, Ung, Mang, Ong). Tri Aksara Ang, Ung dan Mang
disingkat AUM atau OM dan dibaca ONG merupakan simbul Dewa Brahma, Dewa Wisnu
dan Dewa Saiwa (Trimurti atau Tri Sakti) yang kesaktiannya diakui baik oleh
aliran Siwa maupun Buddha. Aksara OM merupakan simbul dari Utpeti, Sthiti dan
Pralina yaitu lahir, hidup dan mati (Suhardana, 2006:91).
III. Penutup
Di Bali
dikenal ada tiga macam aksara, yaitu: (a) Pertama aksara wrestra. Aksara ini
digunakan dalam bahasa Bali lumrah berdasarkan hanacaraka yang berjumlah 18
aksara. (b) Kedua aksara swalalita. Aksara ini digunakan dalam sastra Jawa Kuno,
berjumlah 35 aksara, hampir sama dengan aksara dalam bahasa Sansekerta. (c)
Ketiga aksara modre. Aksara ini digunakan untuk kadyatmikan seperti untuk japa,
mantra, lambang-lambang keagamaan, upacara yang berhubungan dengan dunia
kegaiban dan pengobatan (usada)
Menurut
lontar atau buku Usada Tiwas Punggung (Punggung Tiwas), dasa aksara terdiri
atas 10 aksara suci atau wijaksara,
yaitu: Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, dan Yang. Kesepuluh
aksara ini berasal dari delapan buah aksara wianjana
(sa, ba, ta, na, ma, si, wa dan ya) dan dua buah aksara suara (a dan i). Kalau
kesepuluh aksara ini dirangkai dalam kata-kata akan terbentuk sebuah kalimat,
yang bunyinya sebagai berikut: sabatai
nama siwaya.
Masing-masing
dari aksara ini mempunyai linggih, genah,
sthana (tempat, kedudukan) baik di dalam badan manusia (bhuana alit, mikrokosmos), maupun di
alam raya (bhuana agung, makrokosmos).
Di tempat linggih, kedudukan letak
atau sthana dari tiap aksara ini
bersemayam pula di tempat itu para Dewa, Sang Hyang atau Batara, lengkap dengan
lambang warna, senjata dan simbol perwujudannya. Agar lebih memudahkan untuk
mempelajari kaitan antara linggih (sthana) dewa, beserta perlambangannya
dengan Dasa Aksara dalam bhuana agung dan alit: (1) Sang di jantung (timur),
(2) Bang di hati (selatan), (3) Tang di buah pinggang (barat), (4) Ang di
empedu (utara), (5) Ing di pertengahan hati (tengah), (6) Nang di paru
(tenggara), (7) Mang di usus (barat daya), (8) Sing di limpa (barat laut), (9)
Wang di anus (timur laut), dan (10) Yang di susunan rangkaian hati (tengah).
Kesepuluh
huruf atau yang disebut dengan Dasa Aksara (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang,
Mang, Sing, Wang, Yang) dipandang sakti. Bersemayam dalam tubuh manusia yang
memberikan energy atau kekuatan dengan membangkitkannya. Dari Dasa Aksara
diperas menjadi Panca Aksara (Mang, Ang, Ong, Ung, Yang). Diciutkan lagi
menjadi Catur Aksara (Ang, Ung, Mang, Ong). Tri Aksara Ang, Ung dan Mang
disingkat AUM atau OM dan dibaca ONG merupakan simbul Dewa Brahma, Dewa Wisnu
dan Dewa Saiwa (Trimurti atau Tri Sakti) yang kesaktiannya diakui baik oleh
aliran Siwa maupun Buddha. Aksara OM merupakan simbul dari Utpeti, Sthiti dan
Pralina yaitu lahir, hidup dan mati (Suhardana, 2006:91).
Daftar
Pustaka
Nala, Ngurah.1993. Usada
Bali. Denpasar: PT. Upada Sastra
.2006. Aksara Bali dalam Usada. Surabaya:
Paramita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar