Minggu, 19 Januari 2014

JURNALISTIK (INDIVIDU)

Dasa Aksara Dalam Bhuana Agung dan Alit
Kadek Rusmini
Abstrak

Mengenai simbol lain dalam bentuk huruf atau aksara, di Bali dikenal ada tiga macam aksara, yaitu: (a) Pertama aksara wrestra, yang terdiri dari atas suku kata:ha, na, ca, ra, ka, ga, ta, ma, nga, ba, sa, wa, la, pa, da, ja, ya, nya. Letak dalam bhuana alit yaitu: (1) Ha di ubun-ubun, (2) Na di antara kedua alis, (3) Ca di dalam kedua mata, (4) Ra di kedua telinga, (5) Ka di dalam hidung, (6) Da di dalam mulut, (7) Ta di dalam dada, Sa di tangan (lengan) kanan, (9) Wa di tangan (lengan) kiri, (10) La di hidung, (11) Ma di dalam dada kanan, (12) Ga di dalam dada kiri, (13) Ba di pusar, (14) Nga di dalam alat kelamin, (15) Pa di dalam pantat (anus), (16) Ja di kedua tungkai (kaki), (17) Ya di tulang belakang, (18)Nya di tulang ekor. (b) Kedua aksara swalalita. (c) Ketiga aksara modre.
Menurut lontar atau buku Usada Tiwas Punggung (Punggung Tiwas), dasa aksara terdiri atas 10 aksara suci atau wijaksara, yaitu: Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, dan Yang. Masing-masing dari aksara ini mempunyai linggih, genah, sthana (tempat, kedudukan) baik di dalam badan manusia (bhuana alit, mikrokosmos), maupun di alam raya (bhuana agung, makrokosmos). Di tempat linggih, kedudukan letak atau sthana dari tiap aksara ini bersemayam pula di tempat itu para Dewa, Sang Hyang atau Batara, lengkap dengan lambang warna, senjata dan simbol perwujudannya. Agar lebih memudahkan untuk mempelajari kaitan antara linggih (sthana) dewa, beserta perlambangannya dengan Dasa Aksara dalam bhuana agung dan alit: (1) Sang di jantung (timur), (2) Bang di hati (selatan), (3) Tang di buah pinggang (barat), (4) Ang di empedu (utara), (5) Ing di pertengahan hati (tengah), (6) Nang di paru (tenggara), (7) Mang di usus (barat daya), (8) Sing di limpa (barat laut), (9) Wang di anus (timur laut), dan (10) Yang di susunan rangkaian hati (tengah).
Kesepuluh huruf atau yang disebut dengan Dasa Aksara (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang) dipandang sakti. Bersemayam dalam tubuh manusia yang memberikan energy atau kekuatan dengan membangkitkannya. Dari Dasa Aksara diperas menjadi Panca Aksara (Mang, Ang, Ong, Ung, Yang). Diciutkan lagi menjadi Catur Aksara (Ang, Ung, Mang, Ong). Tri Aksara Ang, Ung dan Mang disingkat AUM atau OM dan dibaca ONG merupakan simbul Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Saiwa (Trimurti atau Tri Sakti) yang kesaktiannya diakui baik oleh aliran Siwa maupun Buddha. Aksara OM merupakan simbul dari Utpeti, Sthiti dan Pralina yaitu lahir, hidup dan mati

I.     Pendahuluan
Bahasa merupakan bagian komunikasi antar perorangan maupun masyarakat. Bahasa dapat dibedakan berdasarkan daerah setempat misalnya bahasa daerah Bali, Jawa, Sumatra dan lain-lain. Tidak hanya sekedar bahasa saja, penulisan huruf juga berbeda-beda. Mengenai simbol lain dalam bentuk huruf atau aksara, di Bali dikenal ada tiga macam aksara, yaitu: (a) Pertama aksara wrestra. Aksara ini digunakan dalam bahasa Bali lumrah berdasarkan hanacaraka yang berjumlah 18 aksara. (b) Kedua aksara swalalita. Aksara ini digunakan dalam sastra Jawa Kuno, berjumlah 35 aksara, hampir sama dengan aksara dalam bahasa Sansekerta. (c) Ketiga aksara modre. Aksara ini digunakan untuk kadyatmikan seperti untuk japa, mantra, lambang-lambang keagamaan, upacara yang berhubungan dengan dunia kegaiban dan pengobatan (usada). Aksara modre inilah yang dimaksud dengan Aksara Suci dalam Agama Hindu (Suhardana, 2006:90)
          Aksara atau huruf yang yang ada di Bali diperkirakan merupakan modifikasi dari huruf Jawa. Dan huruf Jawa ini mungkin berasal dari huruf Sansekerta, India. Diduga bahwa huruf atau aksara ini dibawa oleh Raja Aji Sakti yang datang ke Jawa pada tahun 78 atau 79 Masehi. Sebab pada waktu itu mulai diterapkan Tahun Caka yang berbeda sekitar 79 tahun dengan tahun Masehi. Huruf yang diperkenalkan pada waktu itu sebenarnya bukanlah huruf tetapi suku kata, yang terdiri dari atas suku kata:ha, na, ca, ra, ka, ga, ta, ma, nga, ba, sa, wa, la, pa, da, ja, ya, nya. Kedelapan belas aksara ini dapat dirangkaikan menjadi suatu kalimat, untuk memudahkan menghapalkannya, yakni: hana caraka gata mangaba sawula pada jayanya. Artinya: ada (dua orang) hamba berpengalaman membawa surat, sama perwiranya. Tetapi ada pula yang menulis aksara ini sebagai berikut: Hana caraka dhata sawala pada jayanya magabathanga. Artinya: Ada (dua) prajurit berkelahi, sama saktinya (akhirnya) keduanya menjadi mayat.
Kedudukan kedelapan belas aksara Bali tersebut di dalam tubuh manusia atau bhuana alit adalah sebagai berikut: (1) Ha di ubun-ubun, (2) Na di antara kedua alis, (3) Ca di dalam kedua mata, (4) Ra di kedua telinga, (5) Ka di dalam hidung, (6) Da di dalam mulut, (7) Ta di dalam dada, Sa di tangan (lengan) kanan, (9) Wa di tangan (lengan) kiri, (10) La di hidung, (11) Ma di dalam dada kanan, (12) Ga di dalam dada kiri, (13) Ba di pusar, (14) Nga di dalam alat kelamin, (15) Pa di dalam pantat (anus), (16) Ja di kedua tungkai (kaki), (17) Ya di tulang belakang, (18)Nya di tulang ekor.
          Kelengkapan atau pangangge aksara mempunyai kedudukan atau tempat pula di dalam tubuh manusia, yakni: (1) Ulu di kepala (dalam otak), (2) Taling di hidung, (3) Surang di rambut, (4) Nania di lengan (tangan), (5) Wisah di telinga, (6) Pepet di batok kepala, (7) Cecek di lidah, (8) Guwung di kulit, (9) Suku di tungkai (kaki), (10) Carik di persendian, (11) Pamada di alur jantung.
          Kedelapan belas aksara ini merupakanwre-astra, yakni aksara yang tampak dan dapat diajarkan kepada siapa saja. Sedangkan aksara yang tidak tampak yang terdiri atas dua buah aksara disebut swalalita yaitu Ah dan Ang merupakan aksara yang tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Kedua aksara swalalita ini dilengkapi dengan pangangge sastra, yaitu kelengkapan aksara berupa ardha-candra berbentuk bulan sabit, windu yang melambangkan matahari berbentuk bulatan, dan nada melambangkan bintang yang dilukis sebagai segitiga.Ketiga pangangge sastra ini sering dipasangkan dengan aksara huruf hidup: a, i, u, e, o sehingga dibaca menjadi: ang, eng, ing, ong, dan ung. Suku kata ini disebut: ang-kara, eng-kara, ing-kara, ong-kara, dan ung-kara. Bentuk seperti ini disebut modre.Kelengkapan ketiga aksara swalalita ini sering dihubungkan dengan kekuatan dan simbol dari dewa, sehingga bentuk windu adalah lambang agni, Dewa Brahma, sama dengan aksara Ang. Bentuk ardha-candra adalah lambang air, Dewa Wisnu sama dengan aksara Ung. Dan bentuk nada adalah lambang udara, Dewa Siwa sama dengan aksara Mang. Ketiga aksara ini jika disatukan akan menjadi Ang-Ung-Mang atau A-U-M yang dibaca Aum atau Om. Di Bali diucapkan Ong. Aksara Ong-kara inilah sumber dari semua aksara, sehingga disebut wija-aksara, aksara yang maha suci, lambang Dewa Trimurti (Nala,1993:96-97)

II.     Pembahasan
2.1     Pengertian Dasa Aksara
Menurut lontar atau buku Usada Tiwas Punggung (Punggung Tiwas), dasa aksara terdiri atas 10 aksara suci atau wijaksara, yaitu: Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, dan Yang. Kesepuluh aksara ini berasal dari delapan buah aksara wianjana (sa, ba, ta, na, ma, si, wa dan ya) dan dua buah aksara suara (a dan i). Kalau kesepuluh aksara ini dirangkai dalam kata-kata akan terbentuk sebuah kalimat, yang bunyinya sebagai berikut: sabatai nama siwaya. Kalimat ini merupakan ungkapan doa untuk memuliakan Dewa Siwa (nama Siwaya). Di antara para dewa, Sang Hyang Siwa paling dimuliakan oleh umat Hindu di Bali, karena kebanyakan dari mereka menganut ajaran Siwa Siddhanta. Dewa-dewa yang lain tetap dihormati, tetapi tidaklah semulia dewa Sang Hyang Siwa, karena dewa tersebut merupakan perwujudan Dewa Siwa juga ketika sedang melaksanakan fungsi atau tugasNya.
Bagi mereka yang ingin mempelajari Dasa Aksara ini untuk memahami inti ajarannya dengan benar dan mampu meresapkan ke dalam sanubarinya harus melalui suatu upacara yang disebut Pawintenan Sastra Mautama (maha Utama), suatu upacara untuk penyucian diri, baik sthula sarira (jasmani) maupun suksma sarira (rohani). Bila hal ini tidak dilaksanakan maka kemungkinan akan mendapat halangan dalam proses pembelajarannya, sehingga tidak tercapai apa yang dituju.

2.2  Hubungan Dasa Aksana dengan Bhuana Agung dan Bhuana Alit
Masing-masing dari aksara ini mempunyai linggih, genah, sthana (tempat, kedudukan) baik di dalam badan manusia (bhuana alit, mikrokosmos), maupun di alam raya (bhuana agung, makrokosmos). Di tempat linggih, kedudukan letak atau sthana dari tiap aksara ini bersemayam pula di tempat itu para Dewa, Sang Hyang atau Batara, lengkap dengan lambang warna, senjata dan simbol perwujudannya.Agar lebih memudahkan untuk mempelajari kaitan antara linggih (sthana), dewa, beserta perlambangannya dengan Dasa Aksara akan dibuatkan tabel atau matriks (modifikasi dari isi lontar Krakah Modre) sebagai berikut:
No
Bunyi
Linggih di buana alit
Linggih di buana agung
Dewa
Warna
1
Sang
Papusuhan Jantung (hrdaya)
Timur (Purwa)
Sang Hyang Iswara
Putih
2
Bang
Ati Hati (yakrta)
Selatan (daksina)
Sang Hyang Brahma
Merah
3
Tang
Ungsilan Buah pinggang (verkka)
Barat (pascima)
Sang Hyang Maha Dewa
Kuning
4
Ang
Ampru Empedu (tikta)
Utara (uttara)
Sang Hyang Wisnu
Hitam
5
Ing
Tengahing Ati Pertengahan Hati (yakrt)
Tengah (madya)
Sang Hyang Siwa
Nila
6
Nang
Peparu Paru (puphusa)
Tenggara (agneya)
Sang Hyang Maheswara
Dadu
7
Mang
Usus (srota)
Barat Daya (neriti)
Sang Hyang Rudra
Jingga
8
Sing
Limpa (pliha)
Barat Laut (wayabya)
Sang Hyang Sangkara
Hijau
9
Wang
Ineban Kerongkongan (mahasrota)
Timur Laut (ersania)
Sang Hyang Sambu
Biru
10
Yang
Susunan rangkaian hati (yakrthrdaya)
Tengah (madya)
Sang Hyang Guru
Panca Warna

Dasa akasara terbagi menjadi dua buah kelompok yang disebut Panca Brahma (Sang-Bang-Tang-Ang-Ing) dan Panca Tirta (Nang-Mang-Sing-Wang Yang). Panca Brahman selain malinggih di dalam tubuh manusia (Sang Ibu) juga malinggih di dalam unsur kanda pat dari manik rare (bhruna, janin), sehingga unsur ini memiliki juga kekuatan seperti para Dewa tersebut. Para dewa dan unsur kanda pat ini adalah: (1) Sang, sadyojata, pertiwi atau tanah (Dewa Iswara) berada di ari-ari (plasenta), (2) Bang, Bawadewa, teja, agni, panas atau api, dewa brahma, berada di rah (darah, rakta), (3) Tang, Tat Purusha, vayu, bayu, atau undara, Dewa Mahadewa, berada di lamas (lamad, selaput tipis pembungkus badan janin), (4) Ang, Aghora, dewa wisnu, apah, atau air berada di yeh nyom (air ketuban), (5) Ing, icana, dewa siwa, akasa, embang atau ruang, berada di dengen (gelar kanda pat).
Wijaksara dari Panca Tirta malinggih, bersthana, berkedudukan, bermukim, atau terletak pula di dalam tubuh manusia (bhuana agung) dan jagat raya (bhuana agung) serta ada pula kaitannya dengan para dewa atau batara. Kedudukan para dewa Panca Tirta berada disudut-sudut arah penjuru mata angin. Matriks atau table berikut ini akan memperjelas hubungan tersebut:
No
Bunyi
Linggih Bhuana Alit
Linggih Bhuana Agung
Dewa atau Batara
1
Nang
Paparu
Paru
Agneya Tenggara
Sang Hyang Mahesora
2
Mang
Usus
Usus
Neriti Barat Daya
Sang Hyang Rudra
3
Sing
Limpa
Limpa
Wayabya
Barat Laut
Sang Hyang Sangkara
4
Wang
Ineban Sekat
Rongga Dada
Airsania
Timur Laut
Sang Hyang Sambhu
5
Yang
Tumpuking ati
Pusat hati
Madya
Tengah
Sang Hyang Iswara/Siwa

2.3     Kegunaan Dasa Aksara
Kesepuluh huruf atau yang disebut dengan Dasa Aksara (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang) dipandang sakti. Bersemayam dalam tubuh manusia yang memberikan energy atau kekuatan dengan membangkitkannya. Dari Dasa Aksara diperas menjadi Panca Aksara (Mang, Ang, Ong, Ung, Yang). Diciutkan lagi menjadi Catur Aksara (Ang, Ung, Mang, Ong). Tri Aksara Ang, Ung dan Mang disingkat AUM atau OM dan dibaca ONG merupakan simbul Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Saiwa (Trimurti atau Tri Sakti) yang kesaktiannya diakui baik oleh aliran Siwa maupun Buddha. Aksara OM merupakan simbul dari Utpeti, Sthiti dan Pralina yaitu lahir, hidup dan mati (Suhardana, 2006:91).

III.     Penutup
Di Bali dikenal ada tiga macam aksara, yaitu: (a) Pertama aksara wrestra. Aksara ini digunakan dalam bahasa Bali lumrah berdasarkan hanacaraka yang berjumlah 18 aksara. (b) Kedua aksara swalalita. Aksara ini digunakan dalam sastra Jawa Kuno, berjumlah 35 aksara, hampir sama dengan aksara dalam bahasa Sansekerta. (c) Ketiga aksara modre. Aksara ini digunakan untuk kadyatmikan seperti untuk japa, mantra, lambang-lambang keagamaan, upacara yang berhubungan dengan dunia kegaiban dan pengobatan (usada)
Menurut lontar atau buku Usada Tiwas Punggung (Punggung Tiwas), dasa aksara terdiri atas 10 aksara suci atau wijaksara, yaitu: Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, dan Yang. Kesepuluh aksara ini berasal dari delapan buah aksara wianjana (sa, ba, ta, na, ma, si, wa dan ya) dan dua buah aksara suara (a dan i). Kalau kesepuluh aksara ini dirangkai dalam kata-kata akan terbentuk sebuah kalimat, yang bunyinya sebagai berikut: sabatai nama siwaya.
Masing-masing dari aksara ini mempunyai linggih, genah, sthana (tempat, kedudukan) baik di dalam badan manusia (bhuana alit, mikrokosmos), maupun di alam raya (bhuana agung, makrokosmos). Di tempat linggih, kedudukan letak atau sthana dari tiap aksara ini bersemayam pula di tempat itu para Dewa, Sang Hyang atau Batara, lengkap dengan lambang warna, senjata dan simbol perwujudannya. Agar lebih memudahkan untuk mempelajari kaitan antara linggih (sthana) dewa, beserta perlambangannya dengan Dasa Aksara dalam bhuana agung dan alit: (1) Sang di jantung (timur), (2) Bang di hati (selatan), (3) Tang di buah pinggang (barat), (4) Ang di empedu (utara), (5) Ing di pertengahan hati (tengah), (6) Nang di paru (tenggara), (7) Mang di usus (barat daya), (8) Sing di limpa (barat laut), (9) Wang di anus (timur laut), dan (10) Yang di susunan rangkaian hati (tengah).
Kesepuluh huruf atau yang disebut dengan Dasa Aksara (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang) dipandang sakti. Bersemayam dalam tubuh manusia yang memberikan energy atau kekuatan dengan membangkitkannya. Dari Dasa Aksara diperas menjadi Panca Aksara (Mang, Ang, Ong, Ung, Yang). Diciutkan lagi menjadi Catur Aksara (Ang, Ung, Mang, Ong). Tri Aksara Ang, Ung dan Mang disingkat AUM atau OM dan dibaca ONG merupakan simbul Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Saiwa (Trimurti atau Tri Sakti) yang kesaktiannya diakui baik oleh aliran Siwa maupun Buddha. Aksara OM merupakan simbul dari Utpeti, Sthiti dan Pralina yaitu lahir, hidup dan mati (Suhardana, 2006:91).

Daftar Pustaka
Nala, Ngurah.1993. Usada Bali. Denpasar: PT. Upada Sastra

                        .2006. Aksara Bali dalam Usada. Surabaya: Paramita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar