SIVA
SIDDHANTA
Dosen
Pengampu : I
Ketut
Pasek
Gunawan,
S.Pd.H
IHDN
DENPASAR
Oleh:
KADEK
RUSMINI
10.1.1.1.1.3899
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
Ujian
Tengah Semester
(UTS)
Soal:
- Jelaskan tokoh-tokoh penyebar Siva Siddhanta dari India sampai ke Bali!
- Jelaskan kenapa kristalisasi semua sekte di Bali dengan mengatasnamakan Siva Siddhanta!
- Jelaskan konsep kristalisasi yang dibuat oleh Mpu Kuturan!
- Jelaskan konsep penyatuan Siva Siddhanta atau sekte-sekte dalam merajan!
- Bagaimana anda menyikapi terhadap fenomena menyontek dalam ujian, korupsi dan teroris dalam Siva Siddhanta!
1. Sekte Siva Siddhanta
dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India Tengah) kemudian
menyebar ke Indonesia dan sampai ke Bali. Pemantapam paham Siva Siddhanta di
Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan/Danghyang Nirartha.
Ada beberapa tokoh orang suci yang menerima wahyu Hyang Widhi di Bali sekitar
abad ke delapan sampai ke empat belas yaitu:
a. Danghyang
Markandeya
Pada abad ke-8 beliau
mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (Dieng, Jawa Timur), bahwa bangunan pelinggih
di Tolangkir (Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur
emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal
Lalang-Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siva Siddhanta kepada para
pengikutnya dalam bentuk ritual : Surya Sewana, Bebali, (banten) dan Pecaruan.
Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini
dinamakan Agama Bali.
b. Mpu
Sangkulputih
Setelah Danghyang
Markandeya moksa, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual Bebali
antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai
jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhanlainnya seperti: daun
sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan; pisang, kelapa dan biji-bijian:
beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang
sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, penyeneng, tehenan, segehan,
lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap
ngambe, dll. Di samping itu beliau juga mendidik para pengikutnya menjadi
sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kayaban. Beliau juga pelopor
pembuatan acra/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu,
kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.
c. Mpu
Kuturan
Beliau datang ke Bali
pada abad ke-11 dari Majapahit. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai
pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep
Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Ring Tiga di tiap perumahan, Pura
Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, an pembangunan Pura-Pura Kiduling Kreteg (Brahma),
Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham
Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal
(pangider-ider).
d. Mpu
Manik Angkeran
Beliau adalah Brahmana
dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini
tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah
genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin
Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut Segara Rupek.
e. Mpu
Jiwaya
Beliau menyebarkan
Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama pada kaum bangsawan di zaman
Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk
kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan
pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dan lain-lain.
f. Danghyang
Dwijendra
Datang ke Bali pada
abad ke-14 dari desa Keling di Jawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha
tetapi beralih menjadi Brahmana Siwa, ketika Kerajaan bali Dwipa dipimpin oleh
Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali
perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam
manifestasi-Nya sebagai Siwa. Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaan
adalah Padmasari atau Padmasana
2. Karena
di Bali telah berkembang berbagai sekte, yang pada mulanya sekte-sekte tersebut
hidup berdampingan secara damai. Namun lama-kelamaan justru sering terjadi
persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan
sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal
tersebut, Raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi
kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan
sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga).
Pertemuan ini membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yang
terdiri dari berbagai aliran. Dan mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri
Sadaka dan Kahyangan Tiga. Sekte Siva Siddhanta menjadi wadah untuk semua
sekte-sekte yang ada dibali agar tidak ada persaingan serta untuk menyamakan
konsep agama hindu di Bali.
3. Kristalisasi
yang dibuat oleh Mpu Kuturan yaitu Paham Tri Murti (Brahma, Wisnu, Ciwa) untuk
menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau
manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Ditetapkan bahwa semua aliran di Bali
ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa
dan Budha. Semenjak saat itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah
bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya
yang masing-masing bernama:
a. Pura
Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang
Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
b. Pura
Puseh untuk memuja kemuliaan Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi
Wasa
c. Pura
Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu Saktinya Bhatara Ciwa sebagai
perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura
“Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Atas
wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat
Hindu di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud simbol palinggih
Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan
Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap
(Siwa), serta padma Tiga, di Besakih. Paham Tri Murti adalah pemujaan
manifestasi Hyang Widhi dalam posisihorizontal (pangider-ider).
4. Merajan
atau sanggah dalam sebuah keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci,
yang berdasarkan konsep Tri Angga, Tri Mandala, dan juga Tri Hita Karana.
Merupakan sebuah tempat untuk memuja Tuhan dan juga roh leluhur. Sanggah
Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar= tempat suci; Pamerajan
berasal dari Praja= keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi
suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek :
Sanggah, atau Merajan. Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi 3 :
a. Sanggah
Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil)
b. Sanggah
Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ atau (garis
keturunan)
c. Sanggah
Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa
yang sama)
Palinggih yang terdapat di merajan rumah
saya termasuk kedalam Sanggah Pamerajan Alit yang diantaranya yaitu:
a. Dewa Surya yaitu kristalisasi dari Sekte
Surya yang sering disebut sebagai Dewa Surya di keluarga saya. Makna dari
palinggih ini adalah sebagai penerang dalam setiap keluarga atau rumah.
b. Kemulan Rong
Tiga yaitu Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi
dalam manifestasi sebagai Brahma
(dikanan),
Wisnu (dikiri)
dan Siwa (ditengah)
atau disingkat dengan Bhatara Hyang Guru. Sanghyang Widhi dalam manifestasi
sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Palinggih ini merupakan
kristalisasi dari sekte Siwa.
c. Taksu yaitu Sanghyang
Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah
pengetahuan. Palinggih ini merupakan kristalisasi dari sekte pemuja sakti yang
dianggap sebagai pemberi anugerah.
d. Rong
Dua/Kawitan/Leluhur adalah tempat pemujaan roh para leluhur atau disingkat
dengan Bhatara Hyang Kompyang di keluarga saya.
e. Jero
Gede/Penunggun Karang adalah sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu “putra”
Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia.
Palinggih ini merupakan kristalisasi dari sekte Gonapatya atau pemuja Dewa
Ganesha yang berfungsi sebagai penghalang gangguan.
- Wrhaspati
Tattwa menyebutkan bahwa ada dua unsur element utama yang menjadi sumber
segala sesuatu yang disebut “Rwa Bhineda Tattwa” yakni terdiri dari
“Cetana” dan “Acetana”. (Pudja,
1983:7). Kedua unsur atau element yang disebut Cetana dan Acetana ini
sifatnya seba gaib (suksma) yang menjadi asal mula dari segala sesuatu.
Cetana adalah unsur kesadaran sedangkan Acetana adalah unsur-unsur tanpa
kesadaran. Fenomena
menyontek, korupsi, teroris menurut ajaran Siva Siddhanta itu dipengaruhi
oleh dua unsur yang terdapat diatas yaitu Cetana dan Acetana. Dimana jika
pengaruh Acetana lebih besar pengaruhnya, cenderung orang tersebut menjadi
berbuat negative seperti diatas karena tidak sadar akan apa yang dilakukan
dan apa akibat yang akan diterimanya nanti. Serta pengaruh lainnya juga
karena pengaruh Awidya atau kegelapan yang menyelimuti indria sehinga
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Dharma atau kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar