Minggu, 26 Januari 2014

SIVA SIDDHANTA I (UTS)



SIVA SIDDHANTA

Dosen Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H


IHDN DENPASAR



Oleh:

KADEK RUSMINI
10.1.1.1.1.3899


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012


Ujian Tengah Semester
(UTS)

Soal:
  1. Jelaskan tokoh-tokoh penyebar Siva Siddhanta dari India sampai ke Bali!
  2. Jelaskan kenapa kristalisasi semua sekte di Bali dengan mengatasnamakan Siva Siddhanta!
  3. Jelaskan konsep kristalisasi yang dibuat oleh Mpu Kuturan!
  4. Jelaskan konsep penyatuan Siva Siddhanta atau sekte-sekte dalam merajan!
  5. Bagaimana anda menyikapi terhadap fenomena menyontek dalam ujian, korupsi dan teroris dalam Siva Siddhanta!
Jawaban:
1.   Sekte Siva Siddhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India Tengah) kemudian menyebar ke Indonesia dan sampai ke Bali. Pemantapam paham Siva Siddhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan/Danghyang Nirartha. Ada beberapa tokoh orang suci yang menerima wahyu Hyang Widhi di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke empat belas yaitu:
a.       Danghyang Markandeya
Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (Dieng, Jawa Timur), bahwa bangunan pelinggih di Tolangkir (Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal Lalang-Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siva Siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual : Surya Sewana, Bebali, (banten) dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.

b.      Mpu Sangkulputih
Setelah Danghyang Markandeya moksa, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual Bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhanlainnya seperti: daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan; pisang, kelapa dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, penyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Di samping itu beliau juga mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kayaban. Beliau juga pelopor pembuatan acra/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.

c.       Mpu Kuturan
Beliau datang ke Bali pada abad ke-11 dari Majapahit. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Ring Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, an pembangunan Pura-Pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider). 

d.      Mpu Manik Angkeran
Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut Segara Rupek.

e.       Mpu Jiwaya
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama pada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dan lain-lain.

f.       Danghyang Dwijendra
Datang ke Bali pada abad ke-14 dari desa Keling di Jawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana Siwa, ketika Kerajaan bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa. Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaan adalah Padmasari atau Padmasana

2.    Karena di Bali telah berkembang berbagai sekte, yang pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai. Namun lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, Raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yang terdiri dari berbagai aliran. Dan mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga. Sekte Siva Siddhanta menjadi wadah untuk semua sekte-sekte yang ada dibali agar tidak ada persaingan serta untuk menyamakan konsep agama hindu di Bali.

3.    Kristalisasi yang dibuat oleh Mpu Kuturan yaitu Paham Tri Murti (Brahma, Wisnu, Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak saat itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:
a.    Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
b.      Pura Puseh untuk memuja kemuliaan Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
c.     Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu Saktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta padma Tiga, di Besakih. Paham Tri Murti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisihorizontal (pangider-ider).

4.      Merajan atau sanggah dalam sebuah keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci, yang berdasarkan konsep Tri Angga, Tri Mandala, dan juga Tri Hita Karana. Merupakan sebuah tempat untuk memuja Tuhan dan juga roh leluhur. Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar= tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja= keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi 3 :
a.   Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil)
b. Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ atau (garis keturunan)
c.  Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama)
Palinggih yang terdapat di merajan rumah saya termasuk kedalam Sanggah Pamerajan Alit yang diantaranya yaitu:
a.   Dewa Surya yaitu kristalisasi dari Sekte Surya yang sering disebut sebagai Dewa Surya di keluarga saya. Makna dari palinggih ini adalah sebagai penerang dalam setiap keluarga atau rumah.
b.  Kemulan Rong Tiga yaitu Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma (dikanan), Wisnu (dikiri) dan Siwa (ditengah) atau disingkat dengan Bhatara Hyang Guru. Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Palinggih ini merupakan kristalisasi dari sekte Siwa.
c.   Taksu yaitu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan. Palinggih ini merupakan kristalisasi dari sekte pemuja sakti yang dianggap sebagai pemberi anugerah.
d. Rong Dua/Kawitan/Leluhur adalah tempat pemujaan roh para leluhur atau disingkat dengan Bhatara Hyang Kompyang di keluarga saya.
e.   Jero Gede/Penunggun Karang adalah sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu “putra” Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Palinggih ini merupakan kristalisasi dari sekte Gonapatya atau pemuja Dewa Ganesha yang berfungsi sebagai penghalang gangguan.

  1. Wrhaspati Tattwa menyebutkan bahwa ada dua unsur element utama yang menjadi sumber segala sesuatu yang disebut “Rwa Bhineda Tattwa” yakni terdiri dari “Cetana” dan  “Acetana”. (Pudja, 1983:7). Kedua unsur atau element yang disebut Cetana dan Acetana ini sifatnya seba gaib (suksma) yang menjadi asal mula dari segala sesuatu. Cetana adalah unsur kesadaran sedangkan Acetana adalah unsur-unsur tanpa kesadaran. Fenomena menyontek, korupsi, teroris menurut ajaran Siva Siddhanta itu dipengaruhi oleh dua unsur yang terdapat diatas yaitu Cetana dan Acetana. Dimana jika pengaruh Acetana lebih besar pengaruhnya, cenderung orang tersebut menjadi berbuat negative seperti diatas karena tidak sadar akan apa yang dilakukan dan apa akibat yang akan diterimanya nanti. Serta pengaruh lainnya juga karena pengaruh Awidya atau kegelapan yang menyelimuti indria sehinga melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Dharma atau kebenaran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar