MAKNA DAN FILOSOFIS DAKSINA
Daksina merupakan tapakan dari Hyang
Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya.
Daksina juga merupakan buah dari yadnya.
Hal ini dapat kita lihat pada
berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada daksina.
Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda
atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda "terima
kasih" baik sekala maupun niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita haturkan
kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas
semua karunia-Nya.
Selain fungsi di atas, daksina
memiliki kegunaan lain dalam upacara yadnya diantaranya yaitu:
A.
Daksina sebagai simbol
Hyang Tunggal/ Hyang Guru:
Membuat sarana
perlengkapan daksina yang begitu lengkapnya sehingga dianggap cukup untuk
mewakili isi seluruh alam semesta yang ada. Maka dengan demikian daksina
diartikan sebagai satu kesatuan dan sekaligus sebagai simbol Hyang Tunggal atau
Hyang Guru sebagai manifestasi dari Deva Siva sebagai penguasa alam semesta
ini.
B.
Daksina sebagai sarana
persembahan dalam upacara Yajna:
Daksina adalah
sarana perlengkapan yang paling penting dari beberapa jenis upacara Yajna.
Sebesar dan semegah apapun pelaksanaan upacara Dewa Yajna, tanpa menggunakan
sarana daksina, maka upacara itu belum dianggap sempurna karena menggunakan
daksina dianggap sebagai media untuk mendekatkan diri dan mewujudkan kuasa
Tuhan, agar tercipta hubungan manusia sebagai bakta yang akan menyembah Hyang
Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa yang akan disembah.
C.
Daksina sebagai cetusan
rasa terima kasih:
Daksina dipersembahkan
oleh para baktanya, untuk menyampaikan rasa angayubagia kepada Hyang Widhi
beserta manifestasiNya, karena apa yang dimohon bakta dalam melaksanakan
dharmanya sehari-hari sebagai umat Hindu mendapatkan sesuai yang diinginkan.
Fungsi lain dari daksina ini adalah sebagai sarana untuk media menyempaikan
terima kasih kepada para sulinggih atau para pinandita yang ditugaskan untuk
melaksanakan/ memuput upacara, juga sebagai bukti rasa bhakti para umatnya
disatu sisi merupakan bentuk pelayanan para pandita dan pinandita kepada
umatnya.
D.
Daksina untuk memohon
keselamatan
Sebagai manusia
yang sangat menyadari bahwa jauh dari sempurna, sehingga manusia tidak akan
luput dari kesalahan/ khilap serta segala kekurangan-kekurangan, kesalahan dan
lupa karena keterbatasan pikiran maka perlu melaksanakan permohonan
keselamatan. Khususnya bagi para tukang banten (Serati Banten) kehadiran banten
daksina sebagai Sthana Hyang Widhi mutlak sangat diperlukan. Hyang Widhi
sebagai manifestasiNya Sang Hyang Devi Tapeni/ Bhatari Tapeni (Devanya Serati
Banten) untuk memohon bimbigan keselamatan, dalam melaksanakan pembuatan banten
untuk upacara Deva Yajna tidak sampai melakukan kesalahan akibat keterbatasan
pikiran seperti, kelupaan. Kebingungan dan lain sebagainya. Para Serati Banten
biasanya jika akan membuat sarana bebantenan untuk upacara/ upakara maka akan
meletakkan daksina disertai perlengkapan banten yang lain diletakkan di mana
sudah disiapkan tempat banten/ pelangkiran di mana para Serati Banten akan
bekerja untuk membuat banten. Daksina tidak saja diperlukan oleh Serati Banten,
tetapi juga bagi tukang-tukang lainnya seperti tukang unagi bangunan, tukang
terang, tukang membuat gayah, tukang gamelan, tukang ukir dan lain-lain yang
semua tujuannya untuk ngaturang piuning supaya dalam melaksanakan tugasnya
mendapat bimbingan dan keselamatan oleh Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.
E.
Daksina sebagai
Upasaksi (Lambang Hyang Guru):
Pengertian
upasaksi terdiri dari dua suku kata, yaitu upa dan saksi, upa dapat diartikan
sebagai perantara dan saksi dapat berarti mengetahui. Jadi upasaksi dapat
mengendung pengertian sebagai sarana untuk diketahui atau mempermaklumkan,
dalam hal ini kepada Hyang Widhi dengan manifestasiNya. Tempat untuk
menghaturkan banten upasaksi biasanya dibuat khusus yang diberi nama Sanggar
Upasaksi, Sanggar Surya atau bisa juga Sanggar Tawang tergantung besar kecilnya
upacara yang dilaksanakan. Sanggar Tawang bisa juga disebut Sanggar Agung
biasanya dibentuk bangunan temporer dari bambu petung atau batang pinang yang
sudah dikupas terlebih dahulu.
Bentuknya
dibikin sederhana ruang atas yang dibagi menjadi tiga ruangan, apabila memakai
satu ruangan maka disebut Sanggar Surya. Maka sesuai dengan namanya, maka
Sanggar Tawang berarti sthana di angkasa, dan fungsinya adalah untuk
mensthanakan Hyang Widhi sebagai aspeknya, sebagai Sang Hyang Catur Lokapala
atau Hyang Tri Murti. Oleh umat Hindu sangat diyakini bahwa sthanaNya yang
abadi berada di luhuring akasa (di atas angkasa).Setiap aktifitas ritual umat
Hindu dari pelaksanaan upacara yang sederhana (nista) sampai ketingkatan
upacara yang besar (utama) senantiasa dibuatkan Sanggar Surya atau Sanggar
Tawang untuk memohon kehadiran Hyang Surya guna menyaksikan ketulusan hati
umatnya yang sedang melaksanakan upacara/ Yajna.
Sebagai
upasaksi, banten daksina dijadikan sthana Hyang Widhi, apabila banten daksina
tersebut diletakkan pada Sanggar Surya atau Sanggar Tawang sebagai upasaksi,
maka sudah jelaslah fungsinya. Biasanya banten daksina di Sanggar Surya atau di
Sanggar Tawang tidak berdiri sendiri, tetapi melengkapi atau menyertai
banten-banten yang lainnya, seperti banten pejati, banten peras, banten
dewa-dewi, catur, suci dan banten lainnya.
F.
Daksina sebagai banten
pelengkap.
Mengingat
daksina sebagai pelengkap banten-banten lainnya seperti banten pejati, banten
pebangkit, banten pulegembal, dan masih banyak lagi banten yang lainnya yang
tidak penulis sebutkan satu-persatu. Hal ini disebabkan karena upacara/ upakara
atau banten yang digunakan dalam suatu upacara merupakan satu kumpulan ari
beberapa jenis banten yang disebut soroh dan setiap soroh hampir selalu
menggunakan daksina sebagai runtutannya. Adapun kedudukan daksina yang selalu
menyertai banten-banten yang yang lain adalah karena memang unsur yang terdapat
dalam daksina sangatlah lengkap, selain itu daksina merupakan kekuatan atau
saktinya suatu Yajna. Dengan kata lain suatu upakara Yajna akan menjadi sempurna
apabila ada daksinenya. Lebih jelas kita lihat pada upacara Deva Yajna, seperti
melaspas, mecaru, Ngenteg Linggih, Upacara Pujawali, Panca Walikrama dan Eka
Dasa Rudra. Adapun urut-urutan rangkaian upacara yang umum dilaksanakan adalah
sebagai berikut:
Upakara
Ngatur Piuning memulai karya (Nuasin Karya), upakara Nuur (Mendak) Tirtha,
upakara untuk Serati Banten (ngelinggihang Sang Hyang Tapini) yaitu Devanya
Serati Banten, Upakara RsiBijana, Upakara Mapapada (pada Sanggar Pesaksi) yang
ditujukan kehadapan Siwa Raditya dan Giripati, dan upakara di bale Pawedan.
Adapun banten daksina yang digunakan disesuaikan dengan besar kecilnya upakara
(nista, madya, utama). Namun umumnya pada upacara Deva Yajna dapat penulis
sebutkan di atas masih kebanyakan menggunakan daksina gede atau daksina
pemogpog di samping daksina pelinggih dan daksina alit.
G.
Daksina sebagai sarana
penebusan :
Daksina juga
berfungsi sebagai penebusan atas kekurangan alam upakara yang dilaksanakan,
terletak pada sesari/ uang. Selain itu uang sesari yang mengandung juga makna
simbol ketulusan hati/ sarining manah. Ada juga yang menyebut daksina pemogpog
yang mengandung makna sebagai menutup bilamana dalam melaksanakan upakara yajna
ada kekurangan, maknanya hampir sama yaitu untuk penebusan.
Berikut
merupakan komponen-komponen pembentuk dari Daksina:
1.
Bedongan
Adalah
sarana upacara yang dibuat dengan daun kelapa sehingga menyerupai suatu wadah
seperti bakul yang dalam bahasa bali di sebut wakul daksina. Nama lainnya dalah
bedongan.
2.
Tapak Dara.
Tapak dara
merupakan simbol sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga
sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping
menuju arah kehidupan alam sekitar.
3. Beras merupakan simbul udara sebagai
cerminan sang hyang bayu yang merupakan sumber pokok kehidupan, dan sebagai simbol
benih yaitu benih-benih kehidupan
4. Kelapa merupakan simbul matahari
atau “windu ” yakni cerminan sang hyang sadha siwa. buah yang serba guna (seluruh
bagiannya dapat digunakan untuk kehidupan manusia) disimbulkan sebagai bumi dan
juga sebagai kepala
5. Telur merupakan simbul bulan atau “
ardha chandra” yakni cerminan sang hyang siwa. Telur yang digunakan dalam daksina diusahakan
menggunakan telur itik karena itik mampu memilih makanan yang bisa atau yang
tidak bisa dimakan, itik juga sangat rukun dengan sesamanya dan dapat
menyesuaikan hidupnya baik di darat, air dan juga udara.
6.
Peselan
Peselan ini
terdiri dari lima jenis dedaunan yang mewakili lima warna yaitu:
a.
Daun mangga mewakili warna
hijau-hitam
b.
Daun durian mewakili warna putih,
c.
Daun langsat mewakili warna kuning,
d.
Daun manggis mewakili warna merah,
dan
e.
Daun salak mewakili warna brumbun.
Kelima macam
warna daun ini dipergunakan sebagai simbul dari Panca Dewata yaitu warna hitam
adalah warna dari Dewa Wisnu, putih adalah Iswara, kuning adalah Mahadewa,
merah adalah Brahma dan brumbun (Panca warna) adalah Siwa. Namun demikian,
masih banyak yang mempergunakan jenis daun yang lain untuk mewakili kelima daun
tersebut seperti daun rambutan, endongan dan sebagainya tanpa mengurangi makna
simbolik yang terkandung didalamnya. Karena selain berpatokan pada tattwa
setiap upacara juga selalu berpatokan pada Desa (tempat), Kala (waktu), dan
Patra (Kondisi).
7.
Gantusan
Gantusan
yaitu yang dibungkus daun pisang (2 bungkus). Yang masing-masing diisi dengan
segala jenis ikan teri, bumbu (yang melambangkan isi darat dan laut) serta
biji-bijian (5 macam) yang mempunyai warna (hitam, putih, merah, kuning dan
campuran) sebagai cerminan adanya jiwatman (roh).
8.
Pangi merupakan simbul sarwa pala
bungkah cerminan sang hyang boma.
9.
Tingkih merupakan simbul bintang
atau “ nata “ yakni cerminan sang hyang parama siwa.
10.
Uang kepeng bolong merupakan simbul
“ windu sunia” yakni cerminan “sangkan paran”.
11.
Porosan merupakan simbul silih asih,
cerminan dari sang hyang semarajaya semara ratih.
12.
Benang tatebus warna putih
Di atas
kelapa diisi dengan benang tatebus warna putih. Penggunaan Benang dalam setiap
pelaksanaan upcara keagamaan memiliki makna simbolik sebagai tali penghubung
antara yang memuja dan yang dipuja, sebagai pengikat spiritualitas kita dan
juga pada upakara-upakara tertentu benang melambangkan usus.
13. Canang payasan yang sering juga
disebut dengan pasucian/pangresikan. merupakan simbul asta aiswarya yaitu sang
hyang dewata nawa sanga.
Daksina juga
diisi sasari/uang. Daksina secara utuh dalam penggunaannya biasanya
dirangkaikan dengan jenis upakara/bebantenan yang lain seperti : peras, ajuman,
raka, dan yang lainnya. Rangkaian banten ini biasanya disebut dengan pejati. Namun
daksina juga bisa berdiri sendiri apabila daksina tersebut berfungsi sebagai
daksina linggih. Namun dalam daksina linggih ini ditambahkan dengan cili yang
bermakna sebagai simbol wajah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar