SIVA
SIDDHANTA II
(UTS)
Dosen
Pengampu : I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H
IHDN
DENPASAR
Oleh:
KADEK
RUSMINI
10.1.1.1.1.3899
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
SARANA UPAKARA DALAM UPACARA AGAMA
Secara sederhana, banten adalah
persembahan dan sarana bagi umat Hindu mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, sang Pencipta. Merupakan wujud rasa terima kasih, cinta dan bakti
pada beliau karna telah dilimpahi wara nugrahaNya. Namun, secara mendasar
banten dalam agama Hindu juga adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci
Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan
bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa
Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan
bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan
di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan
dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang
kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten.
Dalam “Lontar Yajna
Prakrti” disebutkan “Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna
rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana”
Artinya:
Semua jenis banten
(upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi
dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Dalam “Lontar
Tegesing Sarwa Banten”, dinyatakan: “Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang”
Artinya:
Banten itu adalah buah
pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
Bila dihayati secara mendalam,
banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati
yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud
indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang
bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi
mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk
menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih. Berikut ini penjelasan masing-masing
sarana yang menjadi tugas UTS (ujian tengah semester) yaitu:
1.
CANANG
SARI
Umat hindu dalam
persembahyangangan selalu menggunakan sarana salah satunya yaitu canang.
Tetapi apakah sudah tau apa arti dan
makna canang sebagai sarana dalam persembahyangan? Kadang-kadang pertanyaan
kecil seperti ini yang diucapkan oleh teman-teman yang berbeda keyakinan
membingungkan untuk dijawab. Begitu juga untuk meningkatkan bhakti dalam
persembahyangan pengetahuan dan arti sarana persembahyangan sangat penting.
Dalam buku
“sembahyang menurut hindu” disebutkan kata canang berasal dari bahasa jawa kuno
yang berarti sirih, untuk disuguhkan
kepada tamu yang amat dihormati. Zaman
dahulu sirih sangat bernilai tinggi dan
sebagai lambang penghormatan. Setelah agama hindu berkembang di Bali sirih
menjadi unsur yang sangat penting dalam upacara agama dan kegiatan-kegiatan
adat lainnya. canang adalah sirih itu sendiri, betapapun indahnya canang kalau
tidak dilengkapi dengan porosan yang bahan dasarnya sirih, belumlah canang itu
namanya.
Perlengkapan
canang yaitu ceper atau daun pisang sebagai alas, di atasnya berturut-turut
disusun perlengkapan yang lain seperti pelawa (daun-daunan), porosan yang
terdiri dari sirih, kapur dan pinang lalu dijepit dengan sebuah janur, di
atasnya diisi tangkih/kojong dari janur yang berbentuk bundar disebut
urrassari, dapat juga ditambahkan dengan pandan arum yang diisi dengan wangi-wangian.
Dari unsur-unsur
pokok canang sari itu maka akan terlihat jelas arti dan makna canang, unsur
pokoknya dan artinya adalah sebagai berikut:
1.
Ceper/daun pisang sebagai
alas dan tempat meletakkan unsur-unsur pembentuk canang.
2.
Porosan, porosan
terdiri dari pinang dan kapur (pamor) yang dibungkus dengan daun sirih. Lontar
yadnya prakerti menyebutkan: pinang, kapur dan sirih adalah lambang pemujaan
tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang
Hyang Tri Murti. Pinang melambangkan pemujaan kepada dewa Brahma sebagai
pencipta , sirih melambangkan pemujaan
kepada dewa Wisnu sebagai pemelihara dan kapur Melambangkan pemujaan Kepada
Dewa Siwa sebagai pelebur. Jadi makna porosan yaitu memohon tuntunan dan
kekuatan dari Tuhan yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti
agar dapat menciptakan sesuatu yang baik , memelihara sesuatu yang baik, dan
meniadakan sesuatu yang bernilai negatif, untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih layak dan semakin baik.
3.
Plawa atau daun-daunan.
Dalam lontar yadnya prakerti disebutkan bahwa plawa merupakan lambang tumbuhnya
pikiran yang hening dan suci. Jadi dalam memuja tuhan harus dengan pikiran yang
hening dan suci. Karena pikiran yang tumbuh menuju kesucian dan keheningan
itulah yang dapat menangkal pengaruh buruk dari nafsu duniawi.
4.
Bunga. Bunga merupakan
lambang keiklasan. Memuja tuhan harus
dengan hati yang iklas dan suci dari hati yang terdalam. dalam hidup kita harus
mampu mengiklaskan diri dari berbagai ikatan duniawi sebab cepat atau lambat
dunia ini akan kita tinggalkan karena tidak ada yang kekal di dunia ini.
5.
Jejaritan, reringgitan
atau tetuwasan. Jejaritan merupakan lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran.
Hidup ini banyak sekali godaan-godaan yang bersifat duniawi yang datang silih
berganti yang menggoyahkan pikiran suci kita untuk menuju kebaikan. Maka
tetaplah menuju jalan suci yaitu jalan menuju kebenaran tuhan.
6.
Urassari, Urassari berbentuk garis silang
yang menyurpai tapak dara atau bentuk sederhana dari swastika
(perputaran alam yang seimbang). Urassari yang disusun dengan jejaritan akan
membentuk lingkaran padma astadala yang merupakan lambang stana tuhan dengan
delapan penjuru mata anginnya. Jadi sampian urassari merupakan lambang
permohonan kepada tuhan semoga dalam lingkungan hidup kita selaras dan seimbang.
Canang sari
terbentuk dari beberapa unsur seperti dijelaskan diatas dan dapat ditarik
kesimpulan bahwa canang mengandung arti dan makna perjuangan hidup manusia dengan selalu memohon bantuan
dan perlindungan tuhan,untuk menciptakan, memelihara, dan meniadakan. Semuanya
demi suksesnya cita-cita hidup manusia yakni kebahagiaan.
Pemujaan hidup
harus melalui usaha untuk menumbuhkan pikiran jernih dan suci didasarkan atas
ketulus iklasan, beryadnya, berbakti, dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa,
kepada sesama manusia, dan kepada alam lingkungan. Bhagavadgita III,10
disebutkan prajapati (Tuhan) Praja (manusia dan Mahluk lainnya), kamandhuk
(alam semesta).
Begitu tingginya
filsafat yang dimiliki oleh simbol canang. Dengan kata lain canang adalah
bahasa agama hindu dalam bentuk simbul yang dapat memberikan berbagai
keterangan tentang arti dan makna hidup di dunia ini.
Ø
Kristalisasi
sekte-sekte ke dalam Siva Siddhanta
Penyatuan
sekte-sekte dalam canang dapat dilihat dari bunga yang melambangkan ketulusan hati,
dari warna-warna bunga dapat dikaitkan dalam Dewata Nawa Sangga. Seperti bunga
warna merah melambangkan dewa brahma, warna putih melambangkan dewa iswara dan
sebagainya. Porosan yang melambangkan Tri Murti, yang diantaranya Kapur
melambnagkan Siwa, Sirih melambnagkan Wisnu dan Pinang melambangkan Brahma.
Kembang rampai (pandan) yang dilambangkan sebagai warna brumbun yang letaknya
ditengah merupakan lambang dari dewa Siwa dalam Nawa Dewata.
Ø
Mantra
Canang Sari
Om Puspa
Danta ya namah svaha (dalam hati)
Om tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Om shri Deva Devi Sukla ya namah svaha
Om tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Om shri Deva Devi Sukla ya namah svaha
2.
DAKSINA
Daksina
berasal dari kata Sansekerta. Daksina bisa berarti upah, daksina juga bisa
bermakna selatan dan nama sebuah banten. Dalam kitab Yayur Veda XXXX.1 ada
disebutkan bahwa Sthana Hyang Widhi Wasa adalah alam semesta atau Bhuana Agung.
Hyamh Widhi berada pada alam yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Tidak
ada bagian bhuana agung ini tanpa kehadiran Hyang Widhi. Demikian pula dalam
kitab Ayur Weda pada bagian terakhir mantra yang disebutkan bahwa nama Hyang
Widhi pertama adalah OM dan badannya adalah alam semesta atau bhuana agung ini.
Hyang Widhi juga disebut parama atma. Sebagai jiwa dari bhuana alit beliau disebut atman. Banten
daksina disamping lambang penghormatan juga sebagai lambang Bhuana Agung Sthana
Hyang Widhi Wasa. Hal ini disebutkan dalam puja pengantar daksina sebagai
berikut: Om pakulun bhattara Visnu alingga haneng daksina sesantun dan
seterusnya.
Daksina adalah tapakan dari
Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya.
Daksina juga merupakan buah daripada yadnya. Hal ini dapat kita lihat pada
berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada daksina.
Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda
atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda "terima
kasih" kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita haturkan
kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas
semua karunia-Nva
Daksina
sebagai lambang Bhuana Sthana Hyang Widhi Wasa nampak dalam bahan-bahan yang
membentuk daksina tersebut. Beberapa unsur penting yang membentuk Daksina,
yaitu :
1. Bebedogan,
dibuat dari daun janur yang sudah hijau yang bentuknya bulat panjang serta ada
batas pinggirnya pada bagian atasnya. Bebedogan ini lambang pertiwi unsur yang
dapat dilihat dengan jelas.
2. Serobong
Daksina, disebut juga sebagai Serobong Bebedogan dibuat juga dari daun janur
yang sudah hijau tanpa tepi maupun dibawahnya. Serobog Daksina ini menjadi
lapisan pada bagian tengah dari bebedogan, segala bahan daksina ini masuk
kedalam serobong daksina. Serobong daksina ini lambang Akasa yang tanpa tepi.
3. Tampak,
dibuat dari empat potong helai janur berbentuk seperti kembang teratai bersegi
delapan. Bentuk tampak ini melambangkan arah atau kiblat mata angin yang
mengarah pada delapan penjuru. Pada dasar daksina diisi tetampak
dari janur sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga
sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping
menuju arah kehidupan alam sekitar, tetampak dibubuhi beras sejumput.
4.
Telor
itik/telor bebek, dibungkus dengan Urung Ketipat Taluh. Telor itik yang
dibungkus ketipat taluh ini lambang Bhuana alit yang menghuni bumi ini. Telur
itik juga sebagai lambang dari sifat-sifat satwam.
5. Beras,
beras merupakan simbolis dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan umat
manusia di alam raya ini.
6. Benang
Tukelan (benang Bali) adalah sebagai simbolis dari penghubung Jiwataman yang
tidak akan berakhir samapai terjadinya pralina. Sebelum pralina atman yang
berasal dari paratman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang
berulang-ulang sebelum mencapai moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang
Widhi kalau sudah Pralina.
7. Uang
Kepeng, berjumlah 225 kepeng adalah simbol Bhatara Brahma yang merupakan inti
kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan. Angka 225 itu kalau
dijumlahkan menjadi angka sembilan angka suci lambang Dewata nawa sanga yang
berada di sembilan penjuru alam Bhuana Agung.
8. Pisang,
Tebu dan Kekojong, adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari
alam ini,. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan ajaran Tri Kaya
Parisudha.
9.
Porosan
dan Kembang, porosan adalah lambang pemujaan pada Hyang Tri Murti. Sedangkan
kembang adalah lambang niat suci dalam beryajna pada Hyang Tri Murti. Tujuan
bakti pada Hyang Tri Murti agar manusia mendapatkan tuntunan dalam menciptakan
sesuatu yang patut diciptakan dari Hyang Brahma. Tuntunan dari Hyang Visnu pada
saat memelihara sesuatu yang aptut dan wajar untuk dipelihara. Dari Hyang Rudra
untuk menuntun umat manusia saat meniadakan sesuatu yang patutdan wajar
dihilangkan.
10.
Gegantusan,
unsur upakara ini lambang didunia ini mahluk lahir berulang-ulang sesuai dengan
tingkatan karmanya.
11.
Pesel-peselan
dan Bija Ratus, unsur upakara ini merupakan lambang hidup bersama di dunia ini
untuk menyatukan berbagai bibit. Bija Ratus adalah lambang suatu kerjasama
dalam menelorkan suatu ide bersama. Sebelum ide bersama itu muncul sebagai
suatu kesepakatan. Setiap pihak wajib mengeluarkan ide-idenya. Ide-ide inilah
yang di sebut bija yang harus diratus menjadi satu ide bersama.
12.
Kelapa,
sebagai unsur yang paling utama dalam Banten Daksina. Buah kelapa dari kulit
dengan seluruh isinya adalah lambang Bhuana Agung. Unsur-unsur buah kelapa itu
semuanya melambangkan sapta patala dan sapta loka. Mengapa buah kelapa yang
dipakai daksina harus dikupas dan dibersihkan kulitnya hingga kelihatan
batoknya. Serabut kelapa itu adalah lambang pengikat indria. Karena Daksina itu
lambang Bhuana Agung Sthana Hyang Widhitentunya harus bersih dari unsur-unsur
gejolak indria yang mengikat. Karunia Hyang widhi akan dapat kita capai apabila
kita mampu melepaskan diri dari ikatan indria. Kitalah yang harus mengikat
indria sebagai alat untuk melakukan perbuatan yang bijaksana.
Mitologi adanya kelapa
Kelapa
memiliki manfaat yang demikian banyak dalam kehidupan umat manusia dan mahluk
hidup lainya. Sampai kelapa itu dimitoskan dalam cerita-cerita yang dicukil
dari purana. Samapai ada beberapa versi cerita tentang adanya kelapa.
Diceritakan ada dua orang raksasa kembar bernama Sunda Upasund. Dua raksasa ini
bertapa untuk menguasai sorga, tapanya sangat tekun. Dewa-dewa disurga
menugaskan Dewa Wiswakarma untuk mengujinya. Dewa Wiswakarma menciptakan
bidadari yang sangat cantik dari Bunga Ratna dan Biji Wijen. Sebelum bidadari
ini bertugas menggoda raksasa tersebut, Bidadari itu berkeliling disorga. Saat
Dewa Brahma melihat bidadari yang sangat cantik itu, Dewa Brahma sangat
terperanjat hingga beliau berkepala lima. Sedangkan Dewa Indra menjadi bermata
seribu saat menyaksikan kecantikan bidadari tersebut. Karena demikian cantiknya itupun turun kedunia menggoda raksasa kembar
tersebut. Kedua raksasa itupun kedua-duanya mati bertempur memperebutkan
bidadari yang cantik itu. Selanjutnya yang menjadi cerita adalah kepala Dewa
Brahma yang lima itu. Putra Dewa Siwa mengatakan Dewa Brahma berkepala empat
sedangkan Putra Dewa Indra mengatakan lima. Kedua putra Dewa ini bertaruh.
Siapa yang kalah harus menjelma kedunia sebagai manusia sengsara, mendengar hal
ini diam-diam Dewa Siwa melepaskan panah untuk memotong satu di antara lima
kepala Dewa Brahma sehingga Dewa Brahma menjadi berkepala empat. Dengan
demikian Dewa Brahma pun disebut Pala Dewa Catur Mukha. Dengan demikian putra
Dewa Siwa dapat mengalahkan putra Dewa Indra. Yang menjadi cerita selanjutnya
adalah kepala Dewa Brahma yang putus itu jatuh kedunia. Dunia menjadi digoncang
gempa akibat potongan kepala Dewa Brahma jatuh ke bumi. Dewa Siwapun
bertanggung jawab atas kejadian itu. Kepala Dewa Brahma diambilnya dan
dibuangnya kelaut. Lautpun menjadi goncang pula. Akhirnya kepala Dewa Brahma
itu diambil lagi oleh Dewa Siwa dan ditanam ditepi pantai. Lama kelamaan kepala
Dewa Brahma yang ditanam itupun tumbuh menjadi kelapa. Semenjak itulah ada
kelapa di dunia. Kelapa itulah yang sampai sekarang menjadi salah satu tumbuhan
yang sangat berperan dalam penyelenggaraan upacara Yajna di kalangan Umat
Hindu.
Mengapa kelapa Daksina serabutnya dikerik bersih
Salah
satu bahan pokok untuk membuat Daksina adalah buah kelapa. Buah kelapa yang
dipakai untuk membuat Daksina serabutnya harus dikerik bersih. Behkan Daksina
untuk banten Nuntun Dewa hyang harus dikerik lebih bersih lagi dan dinyaki
dengan minyak sukla (suci). Swami Satya Narayana mengatakan kelapa yang dipakai
bahan pokok pembuatan banten daksina serabutnya harus dikerik. Serabut kelapa
itulah adalah lambang indria yang mengikat. Daksina sebagai lambang Sthana
Tuhan dan lambang penghormatan harus bersih dari ikatan indria yang sangat
pambrih itu. Suatu kerja yang didasarkan pada kenikmatan indria tidaklah pantas
mendapatkan penghormatan Daksina. Demikian pula pemberian yang terhormat yang
disebut daksina tidak pantas kalau masih disertai dengan pambrih-pambrih yang
bersifat indriawi. Hal ini berarti Tuhan akan bersthana pada mereka yang mampu
melepaskan diri dari ikatan indriawi. Ini bukanlah berarti orang harus merusak
indrianya. Indria itu adalah alat. Ia tidak boleh dirusak bahkan harus
dipelihara dengan sebaik-baiknya agar ia dapat dijadikan alat yang baik. Yang dimaksudkan
disini adalah janganlah kita diperalat oleh indria kata Upanisad menyebutkan
indria itu ibarat kuda penarik kereta. Budhi ibarat kusir kereta, pikiran
ibarat tali kekang kereta. Atman ibarat pemilik kereta, badan ibarat kereta itu
sendiri dan jalan adalah obyek indria. Kalau ingin kereta itu larinya cepat dan
terarah maka kuda itu harus sehat dan kuat. Sehat dan kuatnya kuda tetap harus
berada dibawah kendali pikiran dan budhi jadinya serabut kelapa yang harus
dibersihkan itu adalah lambang daya pengikat indria yang dapat menyesatkan sang
diri dari samsara. Dalam upacara-upacara besar banten Daksina digunakan daksina
yang besar pula. Misalnya upacar penebusan Oton yang bertujuan untuk melindugi
seseorang dari asfek negatif dari hari kelahiran. Setiap hari menurut
perhitungan kalender Hindu selalu ada bain buruknya. Agar seeorang terhindar
dari aspek burukya maka diadakan upacara penebusan Oton. Inti upacara penebusan
Oton itu menggunakan daksina gede. Daksina gede itu tergantung Neptu (urip)
dari kelahiran tersebut. Misalnya neptunya 5 maka daksina gedenya Sarwa lima.
Kelapanya lima butir, telornya lima butir, pisangnya lima butir, dan yang
lainnya juga berjumlah lima.
Banten
Daksina menurut Lontar Parimbon Bebanten dalam bentuk uang ada sembilan jenis
yaitu, Utamaning Utama 160.000, Madyaning Utama 80.000, Nistaning Utama 40.000,
Utamaning Madya 50.000, Madyaning Madya 25.000, Nistaning Madya 16.000,
Utamaning Nista 15.000, Madyaning Nista 8.000, Nistaning Nista 4.000. ini
adalah sembilan gambaran umum tentang tingkat Daksina. Dalam bentuk banten
Daksina dapat dibagi menjadi lima yaitu :
1.
Daksina
Alit untuk upacara sehari-hari. Isinya
adalah satu porsi dari masing- masing unsur, banyak sekali dipergunakan, baik
sebagai pelengkap banten yang lain, maupun berdiri sendiri sebagai banten
tunggal.
2.
Kalau
isinya dilipatkan dua kali disebut Daksina pakala-kalaan. Isi
daksina dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi.
Digunakan pada waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.
3.
Kalau
isinya dilipatkan tiga kali disebut Daksina Krepa, Daksina
yang isinya dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada
penebusan oton / menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus
misalnya guna penebusan oton atau mebaya oton.
4.
Kalau
empat kali disebut Daksina Gede atau Daksina Pamogpog. Isinya
dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang
lain yaitu: Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada
dasarnya diberi tetampak taledan bundar.
5.
Kalau
isinya dilipatkan lima kali disebut Daksina Galahan, demikian beberapa jenis
Daksina dalam bentuk uang dan dalam bentuk Banten. Isinya
dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang
lain yaitu: Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada
dasarnya diberi tetampak taledan bundar.
Ø
Kristalisasi
sekte-sekte ke dalam Siva Siddhanta
Bahwa dalam daksina itu banyak menggunakan bahan-bahan
atau perlengkapan,
yang masing-masing memilki makna tersendiri. Wewakulan ini adalah lambang dari pertiwi. Tampak
dara berbentuk segi empat sebagai lambang delapan arah
mata angin, kelapa lambang bhuana agung, telur lambang Bhuana Alit, Peselan lambang Panca Dewata, Porosan lambang dari Tri Murti, Gegantusan Brahma, Visnu, Iswara, dan benang tukelan putih diatas kelapa simbol Tri kona. Bahwa sananya sekte yang ada itu memuja dewa yang
berbeda-beda kemudian di persatukan dengan konsep tri murti. Maka semua sekte-sekte yang ada bersatu dengan
mengatas namakan Siva Siddhanta. Tanpa
menghilangkan tradisi dari masing-masing setke. Ibaratkan wewakulan sekte Siva Siddhanta, perlengkapan dalam
daksina yang lainnya itu merupakan sekte-sekte yang lainnya, sehinnga disatukan
dalam dalam tempat wewakulan itu akan memebentuk daksina. Begitu pula
sekte-sekte yang lainnya yang disatukan kedalam Siva Siddhanta.
3.
PERAS
Kata “Peras”
berarti “Sah” atau “Resmi”, dengan demikian penggunaan banten “Peras” bertujuan
untuk mengesahkan dan atau meresmikan suatu upacara yang telah diselenggarakan
secara lahir bathin. Secara lahiriah, banten Peras telah diwujudkan sebagai
sarana dan secara bathiniah dimohonkan pada persembahannya. Disebutkan juga
bahwa, banten Peras, dari kata “Peras” nya berkonotasi “Perasaida” artinya
“Berhasil”. Dalam pelaksanaan suatu upacara keagamaan, bilamana upakaranya
tidak disertai dengan Banten Peras, maka penyelenggaraan upacara itu dikatakan
“Tan Paraside”, maksudnya tidak akan berhasil atau tidak resmi/sah. Makna banten peras tersebut adalah sebagai lambang kesuksesan. Artinya
dalam banten peras tersebut terkemas nilai-nilai berupa konsep hidup sukses.
Konsep hidup sukses itulah yang ditanamkan ke dalam lubuk hati sanubari umat
lewat natab banten peras. Dalam banten peras itu sudah terkemas suatu
pernyataan dan permohonan untuk hidup sukses serta konsep untuk mencapainya.
Dalam Lontar
“Yadnya Prakerti” disebutkan bahwa Peras dinyatakan sebagai lambang Hyang
Triguna Sakti demikian juga halnya dalam penyelenggaraan “Pamrelina Banten”
disebutkan Peras sebagai “Pamulihing Hati” artinya kembali ke Hati, yaitu suatu
bentuk Sugesti bagi pikiran telah berhasil melaksanakan suatu keinginan serta
mencapai tujuan yang diharapkan.
Banten Peras
terdiri dari beberapa komponen/ bagian berupa Jejahitan / Reringgitan /
Tetuasan, antara lain :
a.
Taledan / Tamas / Ceper
Sebagai dasar dari
semua bagian jejahitannya, pemakaian taledan sebanyak 2 lembar, yang mana
taledan pertama hanya dibingkai/sibeh yaitu dibawah dan atas (arahnya sama).
Sedangkan taledan satunya lagi berbingkai (sibeh) keseluruhan sisinya. Makna
dari Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan
yang murni/ananda). Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana,
Raja Marga).
b.
Tampelan, Benang
Tukelan dan Uang
Ini berupa dua lembar
sirih yang telah diisi pinang dan kapur diletakkan berhadapan lalu dilipat dan
dijahit, disebut Tampelan atau Base Tampelan disatukan meletakkannya dengan
Benang Tukelan warna putih dan Uang. Makna dari Tampelan ini adalah (poros –
pusat) yang merupakan lambang tri murti. Makna dari Benang Tukelan adalah kesucian
dan alat pengikat sifat satwam, merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan
keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar,
pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar. Dan Makna
dari Uang adalah lambang dari Deva Brahma yang merupakan
inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
c.
Tumpeng
Dibagian depan dari
Base Tampelan, Benang Tukelan dan Uang diletakkan Tumpeng Dua buah (simbol rwa bhineda – baik buruk) lambang
kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena
sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan
Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatukan baru
bisa berhasil (Prasidha), Tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam
meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses
menuju kepada Tuhan. Tumpeng terbuat dari nasi yang
dibentuk mengkerucut besarnya seukuran kojong terbuat dari janur dan daun
pisang. Fungsi dari Tumpeng adalah sebagai suguhan kehadapan Hyang Widhi.
Bentuk kerucut yang letak lancipnya di atas adalah melambangkan Tuhan itu Tunggal
adanya dan tempatnya tinggi di atas tiada terbatas, yang oleh umat-Nya akan
dituju dengan jalan pemusatan pikiran yang suci melalui pengendalian hawa
nafsu.
d.
Rerasmen
Rerasmen (lauk pauk)
terdiri dari kacang-kacangan yang digoreng, saur, sambal ikan (telur, ayam,
teri), terung, kecarum, mentimun dan lainnya disesuaikan dengan Desa Kala
Patra. Sebagai alasnya dapat dipergunakan Tangkih / Celemik atau Ceper kacang
yang ukurannya lebih kecil dari Ceper canang. Pada suatu daerah dipergunakan
sebagai tempat Rerasmen adalah Kojong Rangkada yaitu berupa satu taledan
berbentuk segitiga ukurannya agak besar dan didalamnya diletakkan empat buah
kojong janur masing-masing dijahit agar tidak terlepas. Memiliki
makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi
dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani).
Mengenai sisi pokok Rerasmen yaitu :
Kacang dan Ikan, dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” dijelaskan sebagai
berikut :
-
Kacang nga ; ngamedalang pengrasa
tunggal, komak nga; sane kekalih sampun masikian.
Artinya : Kacang-kacangan itu
menyebabkan perasaan menjadi satu, Kacang Komak yang terbelah dua itupun
melambangkan kesatuan.
-
Ulam nga; iwak nga; ebe nga; rawos
sane becik rinengo
Artinya : Ulam itu ikan yang dipakai
sebagai Rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
e.
Buah
Dibagian belakang
tumpeng dan rerasmen diletakkan buah-buahan seperti mangga, apel, salak atau
bisa buah-buahannya disesuaikan dengan keadaan setempat. Dalam Lontar “Tegesing
Sarwa Banten” disebutkan sebagai berikut:
Sarwa Wija nga;
sakalwiring gawe, nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring
kahuripan.
Artinya :
Segala macam dan jenis
buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam
(Tri Kaya Parisudha), yang menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat
memberikan penerangan pada kehidupan.
f.
Jajan
Jajan ada banyak jenis
dan macamnya. Penggunaannya juga disesuaikan dengan jenis banten yang akan
disajikan. Jajan untuk banten Peras, dipergunakan Jaja Begina, Uli, Dodol,
Wajik, Bantal, Satuh dan lainnya. Untuk jajan ini ditegaskan dalam Lontar
“Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut :
Gina/ bagina nga; wruh,
Uli abang putih nga; Iyang apadang nga; patut ning rama rena, Dodol nga;
pangan, pangganing citta satya, Wajik nga; rasaning sastra, Bantal nga;
pahalaning hana nora, Satuh nga; tempani, tiru, tiruan.
Artinya :
Gina lambang
mengetahui, Uli merah/putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti
terhadap guru Rupaka, Dodol lambang pikiran menjadi setia, Wajik adalah lambang
kesenangan akan belajar sastra, Bantal adalah lambang hasil dari kesungguhan
dan tidak kesungguhan hati, Satuh lambang dari patut ditirukan, Satuh sama
dengan patuh.
g.
Sampyan Peras
Berupa sampyan khusus
yang dipergunakan hanya untuk Peras, disebut juga “Sampyan Metangga”, jenisnya
ada 2 macam yaitu : pertama berbentuk kecil dan sederhana yang biasa
dipergunakan pada banten sorohan dan kedua bentuknya agak besar yang
dipergunakan pada pejati wujudnya bertingkat, karena itulah disebut sampyan
metangga. Dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan : Sampyan nga;
ulahakena, tegesnia pelaksanane, artinya segala perbuatan. Perlengkapan dari
sampyan ini adalah porosan dengan sirih, kapur dan pinang. Dimana porosan
secara keseluruhan mencerminkan saktinya Tri Murthi. Buah pinang disebut juga
dengan “Sedah Woh” disebutkan dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai
berikut:
Sedah woh nga; hiking
mangde hita wasana, ngaraning matutalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai
berikut :
Sedah woh nga; hiking
mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih
kumasih.
Artinya :
Sirih dan pinang itu
perlambang dari yang membuatnya kesejahteraan dan kerahayuan, berawal dari
dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam
keluarga, bertetangga dan berkawan.
Demikianlah
adanya arti dan makna daripada beberapa bagian dari banten Peras. Dalam
kehidupan keagamaan Peras sebagai sarana persembahan rasa bhakti dan hormat
umat manusia kehadapan Hyang Widhi, yang berfungsi sebagai sarana untuk
mensahkan dan atau meresmikan dan juga sebagai ungkapan hati untuk memohon
kehadapan Hyang Widhi atas keberhasilan suatu tujuan. Dalam setiap akhir
persembahan dari Peras ini, dilakukanlah “Natab Peras” dan dengan menarik
beberapa bagian dari tiga
lembar janur yang dilipat ujungnya saat menjahitnya dengan posisi dijajarkan
dan dijahit pada alas banten Peras.
Ø
Kristalisasi
sekte-sekte ke dalam Siva Siddhanta
Penyatuan
sekte-sekte dalam banten peras dapat dilihat dari dalam sampyan perasnya yang
dilengkapi dengan bahan bunga yang melambangkan Dewata Nawa Sangga didalamnya,
kemudian ada juga porosan yang melambangkan Tri Murti. Penggunaan Telur yang
juga melambangkan Dewa Brahma. Tampelan ini adalah (poros –
pusat) yang merupakan lambang tri murti. Uang adalah lambang
dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan
sumber kehidupan
Ø
Mantra
Banten Peras
Om Suddha bumi suddha
akasa
Om Suddha dewa suddha
manusa
Om Siddhir astu tad
astu
Om Ksama sampurna ya
namah swaha
Om Mili mili maha
amrtham
Suksma parama siwa ya
namah
Om Ung ung Om Ang Ung
Mang.
Om Ekawara, Dwiwara,
Triwara
Caturwara, Pancawara
Peras prasiddhanta
Parisudha ya namah swaha, Om.
4.
SESAYUT
Menurut
Wijayananda, dalam bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan
bahwa banten sesayut berasal dari kata “sayut”
atau “nyayut” dapat diartikan
mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari
Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia
dalam Kata Pengantar bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa
sesayut berasal dari kata “sayut”
yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). Untuk menahan, mencegah
orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan, atau
penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus
Bali-Indonesia, 1978; 506). Walaupun tidak semua sesayut berbentuk seperti
banten. Namun berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ketut Wiana dalam
bukunya Suksmaning Banten (2009; 53) menguraikan bahwa sesayut berasal dari
kata “ayu” yang berarti selamat atau
rahayu. Kata “ayu” mendapat pengater
Dwi Purwa lalu menjadi Sesayu,
kemudian mendapat reduplikasi “t”
menjadi sesayut yang artinya menuju
kerahayuan.
Dari beberapa
pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sesayut merupakan
sthna dari Ista Dewata untuk memohon kerahayuan agar orang yang melaksanakan
yadnya itu terhindar dari mala, gangguan, atau penyakit dan sebagainya.
Kulit sesayut
bentuknya sama dengan tamas, hanya bedanya di tengah-tengah kulit sesayut
terdapat isehan. Ada dua jenis
sampian sesayut, yaitu sampian sesayut untuk banten yang menggunakan tamas, dan
sesayut yang menggunakan nampan atau ngiu.
Sampian sesayut untuk banten tamas hampir sama dengan sampian plaus yang kedua tangkihnya digabungkan,
sehingga berbentuk huruf V berjumlah dua buah lalu digabungkan. Sedangkan
sesayut yang menggunakan nampan bentuknya bundar dengan menggunakan potongan
jejahitan sebanyak 8 buah.
Dalam banten
sesayut banyak terdapat jenis yang digunakan dalam upacara, terutama dalam
Panca Yadnya. Jenis-jenis sesayut yang digunakan disesuaikan dengan fungsi dan
maknanya masing-masing. Adapun jenis-jenis sesayut sebagai berikut:
A.
Sesayut
Mertya Dewa
Sesayut ini
terdiri dari sebuah kulit sesayut, di atasnya diisi penek dan beras kuning,
dialasi dengan takir (terbuat dari daun kelapa), dilengkapi dengan lauk-pauk,
jajan, buah-buahan, sampian naga sari, penyeneng dan canang ganten atau canang
jenis lainnya.
B.
Sesayut
Sida Karya
Seperti yang
telah dijelaskan di atas, sesayut digunakan untuk memohon kerahayuan agar
terhindar dari mala, gangguan, penyakit, dan sebagainya sehingga pelaksanaan
yadnya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam bukunya Majejahitan
dan Metanding yang ditulis oleh Raras (2006; 193) memaparkan bahwa Banten
Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Para Dewa pada saat melaksanakan
upacara Yadnya dalam bentuk permohonan agar kegiatan yang dilaksanakan tidak
menemui kegagalan. Banten sesayut Sidha Karya ini digunakan dalam upacara Panca
Yadnya ataupun dalam bentuk pribadi sifatnya. Ada yang secara pribadi
menghaturkan banten ini di Sanggah Kemulan atau di Pura Desa. Ada pula yang digunakan
pada saat hari kelahirannya atau otonannya.
Hal senada juga
diungkapkan oleh Jro Mangku Anom (Ketut Agus Nova), salah satu mahasiswa IHDN
Kampus Singaraja. Beliau memaparkan bahwa Sesayut Sidha Karya memang digunakan
dalam Panca Yadnya seperti misalnya Odalan, Ngenteg Linggih, Mlaspas, Ngaben,
Topeng Sida Karya dan lain-lain. Di mana ‘Sidha’
berarti puput, dan ‘karya’ berarti
yadnya. Apabila banten ini tidak ada dalam suatu upacarra tersebut, maka
dikatakan suatu upacara itu belum dikatakan selesai. Jadi, Banten ini dapat
dikatakan sebagai pemuput dalam suatu
rangkaian upacara yajna.
Ida Pandita Mpu
Jaya Wijayananda, dalam bukunya Tataning Tetandingan Banten Sesayut (2006; 3)
menyebutkan bahwa Sesayut Sidha Karya ditujukan untuk Bhatara Mahesora dimana
untuk peletakan banten ini melihat arah mata angin yaitu arah ‘kelod-kangin’
(tenggara). Hal senada juga diungkapkan oleh Putu Bangli dalam bukunya
Warnaning Sesayut Lan Caru (2006; 31) juga menyebutkan bahwa banten Sesayut
Sidha Karya ditujukan kehadapan Bhatara Mahesora.
Ini adalah salah satu
Cara pembuatan Sesayut Sidha Karya yang terdapat dalam buku Majejahitan dan
Metanding yang ditulis oleh Niken Tambang Raras (2006; 194).
1.
Alat dan Bahan:
-
Kulit Sesayut
-
Segehan bentuk segi
empat
-
Tumpeng kecil
-
4 buah kwangen
-
2 buah tulung berisi
nasi
-
Raka-raka (jajan-jajan
dan buah-buahan)
-
Daun sirih dan pinang
-
Sampian Sesayut
2.
Cara Menatanya:
Kulit
sesayut diletakkan di atas nampan atau nare, di atasnya diisi segehan segi
empat dan ditengah-tengah segehan diisi tumpeng kecil. Di sampingnya ditancapi
kwangen 4 buah. Ujung tumpeng ditancapi bunga tunjung. Di sampingnya diisi
raka-raka (buah dan jajan) serta dua buah tulung berisi nasi yang dibawahnya
dialasi dengan daun sirih dan pinang lalu diatasnya diberi sampian sesayut.
Seasayut ini
terdiri dari sebuah kulit sesayut diatasnya diisi nasi berbentuk segi empat,
bagian tengah-tengahnya diisi sebuah tumpeng yang agak besar dan diapit oleh
tumpeng yang lebih kecil. Pada tumpeng tersebar puncaknya diisi dengan terasi yang
pada setiap sudutnya diisi dengan kewangen. Selain itu dilengkapi juga dengan
sebuah tulung dan perlengkapan lain yang pada dasarnya sama dengan Sesayut
Merta Dewa.
C.
Sesayut Sida Purna
Sesayut ini
terdiri dari sebuah kulit sesayut, diisi nasi berbentuk bulat. Disekitarnya
diisi lima buah penek masing-masing disisipi pucuk dapdap. Kemudian dilengkapi
dengan ketipat Sida Purna lima buah dan perlengkapan lain seperti Sesayut Sida
Karya.
Sesayut Sidha
Purna dihaturkan oleh seseorang dengan tujuan menentramkan dirinya. Apabila
seseorang tiba-tiba diliputi rasa takut dan cemas, was-was yang tidak diketahui
penyebabnya, maka sesayut ini dibuat sambil memohon ke hadapan Ida Hyang Widi
agar jiwanya ditentramkan agar terhindar dari mala petaka dan bencana. Banten
ini biasanya dihaturkan di Sangah Kemulan lalu ditaruh di atas pelangkiran
rumah (Raras, 2006: 196). Banten Sesayut
Sidha Purna juga digunakan pada saat pelaksanaan Manusa Yadnya baik itu pada
saat otonan, mesangih dan yang lainnya. (Jro Anom).
Cara Pembuatan
Alat dan Bahan:
-
Kulit Sesayut
-
nasi 3 bulung
-
telur itik rebus dibagi
3
-
bunga tunjung
-
raka-raka (buah dan
jajan)
-
sampian nagasari
Cara menatanya:
Untuk
alasnya bisa digunakan nampan atau nare. Diisi 3 bulung nasi, dipinggirnya
diisi telur itik yang dibagi 3. Di atas nasi ditancapi bunga tunjung,
disampingnya diisi raka-raka (bunga dan buah) dan terakhir disusun dengan
sampian nagasari di atasnya. (Raras, 2006; 196)
D.
Sesayut Langgeng Amukti Sakti.
Sesayut ini
terdiri dari kulit sesayut yang diisi sebuah penek. Penek tersebut disisipi
sebuah kalpika dan muncuk dapdap. Kemudian perlengkapan lainnya sama dengan
kelengkapan sesayut lainnya.
E. Sesayut
Prayasiscita Luwih
Terdiri
dari sebuah kulit sesayut (bentuknya bulat terbuat dari daun kelapa). Diisi
tulung agung (dibawahnya berbentuk tamas dan diatasnya berbentuk cili). Di
dalamnya diisi nasi serta lauk pauk. Disusun dengan sebuah tumpeng yang diisi
sebuah bunga teratai putih. Disekelilingnya diisi sebelas penek kecil, sebelas
kwangen, 11 buah tipat kukur/tipat gelatik, 11 buah tulung kecil, peras alit
pasucian, penyeneng, klungah kelapa gading, lis, bebuu, sampian naga sari, cang
burat wangi serta dilengkapi dengan jajan, buah-buahan, dan lauk pauk.
F.
Sesayut
Saraswati
Terdiri
dari sebuah kulit sesayut, diisi penek warna merah, penek warna putih, dan
penek warna hitam. Masing-masing sebuah dan dilengkapi dengan lauk pauk,
pisang, buah-buahan, jajan, tebu, sampian naga sari, penyeneng, dan cang burat
wangi atau canag jenis lainnya.
Ø
Kristalisasi
sekte-sekte ke dalam Siva Siddhanta
Penyatuan
sekte-sekte ke dalam Siva Siddhanta dapat dilihat dari penggunaan canang yang
di dalamnya sudah merupakan penyatuan sekte-sekte seperti bunga dan porosan
yang melambangkan Nawa Dewata dan Tri Murti. Kemudian penggunaan Telur yang
melambangkan Dewa Brahma. Penggunaan segehan yang melambangkan Panca Dewata dan
sekte Waisnawa dalam penggunaan arak, berem dan lain-lain.
5.
AJUMAN
Ajuman disebut juga soda (sodaan)
dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan
lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi
kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut "perangkat atau
perayun" yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian
pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk, diatur mengelilingi
sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang
burat wangi atau yang lain
Yang menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda:
1.
Alasnya tamas/taledan/cepe; berisi
buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk yang
dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, canang sari. Sarana
yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada
Hyang Widhi)
2.
Nasi penek atau
"telompokan" adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga
berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau
kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol
Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis.
3.
Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari
janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas,
memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan
diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh,
karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap. Kadang
sampyan plaus/petengas bisa disebut "sampyan kepet-kepetan". dan
dapat pula dilengkapi dengan canang genten/ canang sari/ canang burat wangi.
4.
beberapa jenis jajan, buah-buahan,
lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan teri, telor,
terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam, dan sambal.
Ajuman disebut
juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun
melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur,
salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut
"perangkat atau perayun" yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi
tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk,
diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah
canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.
Nama Ajuman
originalnya berasal dari bahasa Sangsekerta
/ Hindu. Nama spesial tersebut memiliki
definisi dan arti Nama Tempat. Ide menarik dalam memberikan nama bayi dengan
nama Ajuman lebih pantas untuk bayi/anak berjenis kelamin Laki-Laki.
Ø
Kristalisasi
sekte-sekte ke dalam Siva Siddhanta
Dari
makna filosofi masing-masing unsur yang ada pada banten Ajuman atau Soda, bahwa
semua unsur-unsurnya bermakna pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widdhi Wasa. Yang
mulai dari unsur Bhuana Alit sampai Unsur Bhuana Agung, di persembahkan secara
tulus iklas. Dan dari makna-makna yang terdapat itu, bahwasanya semua
sekte-sekte yang ada telah luluh menyatu dengan sekte siva siddhanta.
6.
BANTEN
PEJATI
Pejati berasal
bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti
sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang
dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan
manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan
tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang
senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña. Adapun unsur-unsur banten pejati,
yaitu:
A. Daksina
Unsur-unsur yang membentuk daksina:
v Alas
bedogan/srembeng/wakul/katung; terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat
dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya . Alas Bedogan ini lambang
pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
v Bedogan/
srembeng/wakul/katung/ srobong daksina ;terbuat dari janur/slepan yang dibuta
melinkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini
adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang
dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan )
v Tampak;
dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah.
Tampat adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos.
v Beras;
lambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia
ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu,
Siva
v Porosan;
terbuat dari daun sirih, kapur dan pinang diikat sedemikian rupa sehingga
menjadi satu, porosan adalah lambang pemujaan
v Benang
Tukelan; adalah simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka
dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha
Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan
berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari
Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai
Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina.
v Uang
Kepeng; adalah lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk
menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
v Telor
Itik; dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/
getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada
telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana
sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula
sarira.
v Pisang,
Tebu dan Kojong; adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari
ala mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya
Parisudhanya.
v Gegantusan;
yang terbuat dari kacan-kacangan dan bumbu-bumbuan, adalah lambang sad rasa dan
lambang kemakmuran.
v Papeselan
yang terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang
Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun
durian lambang Mahadeva, daun salak lambang Visnu, daun nangka atau timbul
lamban Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).
v Buah
Kemiri; adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki. § Buah kluwek/Pangi;
lambang pradhana / kebendaan / perempuan.
v Kelapa;
simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri
dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa
memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang
Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada
isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras lambang sutala, lapisan tipis
paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta
Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat
saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka,
Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit
serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka Kelapa
dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung
sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang
mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pe ngikat indria.
v Sesari;
sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha)
v Sampyan
Payasan; terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona;
Utpeti, Sthiti dan Pralina.
v Sampyan
pusung; terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut,
sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol
pengerucutan dari indria-indria
B. Banten
Peras Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu:
v Alasnya
Tamas/ taledan/ Ceper; berisi aled/ kulit peras, kemudian disusun di atasnya
beras, benang, base tampel/porosan, serta uang kepeng/recehan. Diisi buah-buahan,
pisang, kue secukupnya, dua buah tumpeng, rerasmen/lauk pauk yang dialasi
kojong rangkat, sampyan peras, canang sari. Pada prinsipnya Banten Peras
memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses
(prasidha)
v Aled/kulit
peras, porosan/base tampel, beras, benang, dan uang kepeng; merupakan lambang
bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang
benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan
tujuan yang benar.
v Dua
buah tumpeng; lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua
tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka
kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan)
harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan
orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga
dapat sukses menuju kepada Tuhan.
v Tamas;
lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang
murni/ananda). § Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja
Marga)
v Kojong
Ragkat, tempat lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan
harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan
hati nurani)
v Sampyan
peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya,
merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi,
waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan
Dharma.
C. Banten
Ajuman/Soda Yang menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda:
v Alasnya
tamas/taledan/cepe; berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua
buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan
plaus/petangas, canang sari. Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi
(ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi)
v Nasi
penek adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan
sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam
mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang
menyangga agar manusia tetap eksis.
v Sampyan
Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga
berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi
manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan
jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah
siap.
D. Ketupat
Kelanan Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan:
Alasnya tamas/taledan
atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat,
rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik,
sampyan palus/petangas, canang sari.
Ketupat Kelanan adalah lambang dari
Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga
kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu
maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
E. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
Yang membentuk Penyeneng:
Jenis jejaitan
yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi
aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi
sebagai alat ntuk nuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Baliau berkenan
hadir dalam upacara yang diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk
membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal.
Ruang 1, berisi
Nasi aon adalah lambang dari dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan
merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala)
Ruang 2 berisi
beras benang dan uang, lambang dari dewa Visnu yang memelihara alam semesta
ini, beras adalah sumber makanan manusia, uang adalah alat transaksi untuk
melangsungkan kehidupan, benang sebagai penghubung antara manusia dengan
manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Hyang Widhi.
Ruang 3 berisi
bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir dan beras,
melambangkan dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva yang
senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan
(pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma.
Bagian atas dari
Penyeneng ini ada jejahitan yang menyerupai Ardhacandra=Bulan, Windu=Matahari,
dan Titik=bintang dan teranggana (planet yang lain).
F.
Pesucian Pesucian
terdiri dari:
Sebuah ceper
/taledan yang berisi tujuh bua tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi:
Bedak (dari tepung), Bedak warna kuning (dari tepung berwarna kuning), Ambuh
(kelapa diparut/ daun kembang sepatu dirajang), Kakosok (rengginang yang
dibakar hingga gosong), Pasta (asem/jeruk nipis), Minyak Wangi, Beras. Di
atasnya disusun sebuah jejahitan yang disebut payasan (cermin, sisir dan petat)
terbuat dari janur.
v Pada
intinya pesucian merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara
dalam suatu upacara keagamaan
v Secara
instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa
menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena
Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati
dan menerima karunia Beliau
G. Segehan
Secara etimologi
Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala,
yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh
pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan
segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik
dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan
semua ciptaan Tuhan. Unsur pembentuk segehan yaitu:
v Jahe,
secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak
boleh emosional.
v Bawang,
memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam
berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
v Garam,
memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk
menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah
sahananing ngaletehin).
v Tetabuhan
Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah
sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang
merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran.
Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang
merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.
Demikian kupasan
banten Pejati baik (upakara) maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan
pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu
dalam membuat dan menghaturkan Banten Pejati dan melaksanakan ajaran agama
Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula
Keto”, di masa yang akan datang.
Ø
Kristalisasi
sekte-sekte dalam siva Siddhanta
Banten Pejati
dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu
1. Peras
kepada Sanghyang Isvara
2. Daksina
kepada Sanghyang Brahma
3. Ketupat
kelanan kepada Sanghyang Visnu
4. Ajuman
kepada Sanghyang Mahadeva
Ø Mantra Pejati (
Daksina, Ajuman, Katipat Kelanan)
Oṁ Puspa Danta ya namah
svaha (dalam hati)
Oṁ Siva sutram yajna
pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam
trigunatmakam
Oṁ namaste bhagavan
Agni
Namaste bhagavan Harih
Namaste bhagavan Isa
Sarva bhaksa utasanam
Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara
Saktikam pastikanca
raksananca saiva bhicarukam.
Oṁ Paramasiva
Tanggohyam Siva Tattva Parayanah
Sivasya Pranata Nityam
Candhisaya Namostute
Oṁ Naividyam Brahma
Visnuca
Bhoktam Deva Mahesvaram
Sarva Vyadi Na Labhate
Sarva Karyanta
Siddhantam.
Oṁ Jayarte Jaya
mapnuyap
Ya Sakti Yasa Apnoti
Siddhi Sakalam Apnuyap
Paramasiva Labhate ya
namah svaha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar