SIVA
SIDDHANTA
Dosen
Pengampu : I
Ketut
Pasek
Gunawan,
S.Pd.H
IHDN
DENPASAR
Oleh:
KADEK
RUSMINI
10.1.1.1.1.3899
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2012
TUGAS
2
(Kristalisasi
Sekte-Sekta Dalam Panca Yadnya)
Menurut Dr. Goris,
sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi Siwa
Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa,
Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974: 10-12). Di antara sekte-sekte
tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta.
Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuanakosa.
Sekte Siwa memiliki
cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa,
Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata
Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti
kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini
megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada
Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja
sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak
lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Siwa
Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh), yang
kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.
Sekte Pasupata juga
merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak
jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan
menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa
Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri
khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah
dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura
yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang
dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin
sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu. Lingga yang ada
merupakan lambang purusa dan pradana, kristalisasinya dalam upacara
manusia yadnya.
Adanya sekte
Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama
Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai
pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan
petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang
merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte
Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga. Dalam
upacara panca yadnya seperti pada tumpek wariga atau tumpek bubuh,
pemujaannya kepada tumbuhan yang memberikan kemakmuraan. Serta
penggunaan tirta, arak, tuak dalam setiap upacara panca yadnya.
Adanya sekte Bodha
dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda
tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam
stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar.
Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran
Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi.
Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu,
arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha
di Goa Gajah, dan di tempat lain.
Sekte Brahmana
menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di
India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak
dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara,
Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari
sekte Brahmana.
Mengenai sekte Rsi
di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada
suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan
berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi
pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari Wangsa
Ksatria. Dan dalam upacara panca yadnya sekta brahmana di
kristalisasikan sebagai pemimpin dalam melaksanakan upacara panca
yadnya.
Pemujaan terhadap
Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu
bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut
Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari
terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang
membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain
itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu
dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan
persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajnya.
Sekte Gonapatya
adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali
terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud
besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang
biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah
sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada
dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya,
seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan
sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan
dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan.
Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara
khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
Sekte Bhairawa
adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan
terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di
Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap
Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Dalam
kristalisasinya sekta ini dalam upacara panca yadnya dengan
menggunakan daging, dan darah. Dalam Hari Raya Suci di Bali seperti
Galungan, sehari sebelumnya melaksanakan acara penampahan dengan
memotong babi/ayam yang digunakan sebagai lambang kemenangan atas
dharma melawan adharma. Dan penggunaan hewan kurban dalam upacara
yadnyanya. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri)
yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan
duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan
ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga
bersumber dari sekte ini.
Pada tahun Saka 910
(988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal
dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa
Whardana). Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang
didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan
diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan
pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.
Seperti telah
diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma
Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah
berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup
berdampingan secara damai. Lama-kelamaan justru sering terjadi
persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini
dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan
dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan
untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan
mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan
di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat
dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.
DAFTAR
PUSTAKA
Pasek
Gunawan, I Ketut. 2012. Sivasiddhanta
1.
Singaraja
Bansi
Pandit, 2006. Pemikiran
Hindu: Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu Dan Filsafatnya,
Surabaya:Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar